38. Lagi-lagi, Sepukal Ekspektasi

838 88 51
                                    

Jingga tak bisa tidur sama sekali semalaman. Matanya berat, tapi ia masih menggulir layar ponselnya membaca pesan-pesan di grup keluarga besar.

Diawali dari sang ayah yang berceletuk membuka percakapan, meminta semua mendoakan yang terbaik untuk lomba besar Jingga besok. Lalu tak selang berjam-jam, semua kerabatnya bersahut-sahutan 'doa'.

'Semoga menang, ya, Jingga!'

'Moga-moga lombanya lancar dan juara satu lagi!'

'Semoga juara, Jinggaa!'

'Semoga bawa pulang piala, ya, Nak Jingga.'

'Semoga Jingga juara satu, aamiinn.'

'Percaya bgt Tante, pasti Jingga menangin juga yang ini.'

'Ginian mah gampang bgt buat Jingga.'

'Semoga menangg.'

Jingga membaca satu-persatu doa baik mereka. Tersenyum tipis, mengaminkan tiap-tiap doa baik yang mereka kaulkan bersahutan.

Ah, grup OSIS juga mendoakan mereka berdua. Begitu pun grup angkatan, grup kelas, serta grup yang berisi guru-guru. Ia dapat dari wali kelasnya, kalau beliau menyebarkan kabar tersebut hingga lebih banyak lagi yang mendoakan mereka. Jingga merasa sangat-sangat diandalkan.

Semua bilang, Jingga pasti menang.

Ia bungah luar biasa. Bangga di hatinya seperti meledak-ledak, menyeruak dan menyeluruhi tubuhnya. Ia terkikik kecil sendiri di samping badan Sahira yang tergeletak lelap.

Jingga suka perasaan ini. Jingga suka menjadi yang nomor satu, begitu pun mengusahakannya. Jingga suka menjadi kebanggaan semua orang, begitu pun berusaha mencapainya.

Ia pun beranjak. Menyenteri rak mini di meja belajar kemudian mengambil secarik kertas. Membaca ulang materi debat mereka yang ia dan Sahira rancang sedemikian rupa. Jingga duduk di meja belajar Sahira, kemudian menyunting kalimat-kalimat tersebut hingga jadi sempurna.

Jingga hanya tidur dua jam menjelang pagi. Bahkan orang tua Sahira sampai heran karena bocah remaja bisa tak tidur tiga hari berturut-turut. Apalagi mengerjakan hal yang serumit itu.

Ah, jangankan orang tua Sahira, Sahira sendiri pun kadang masih tidak habis pikir.

"Sahira, Jingga. Good luck, ya, buat lombanya nanti. Jangan lupa sarapannya dihabisin dulu," ucap ibu Sahira ramah seraya mengusap pucuk rambut putrinya.

"Hehe, iya, Tante. Makasih banyak," sahut Jingga ramah.

"Semoga menang, ya," Ayah Sahira menyahut. Membuat Jingga terdiam sejenak.

"Aamiin. Semoga bisa bawa pulang piala," kekeh ibu Sahira turut mengimbuh. Jingga hanya tersenyum canggung, berterima kasih dengan sopan.

Ia dan Sahira pergi ke sekolah diantar Tara, kakak Sahira. Iya, yang 'difitnah' Jingga sebagai nomor anonim yang dipinjamnya untuk confess kala itu. Ia adalah mahasiswi fakultas hukum yang sedang sibuk oleh skripsinya. Sebuah momen langka Tara mau mengorbankan waktunya.

"Dahh, nyampe. Semoga beruntung, ya, kalian," Begitu kaulnya sebelum mobilnya menghilang dari pandangan. Mereka berterima kasih, sebelum juga turut mengaminkan 'semoga beruntung' dari Tara.

Sebelum berangkat ke tempat perlombaan, Jingga dan Sahira bertemu Bu Andin di kelas mereka. Ia meminta sekelas mendoakan keberuntungan untuk mereka berdua. Hati Jingga jadi merasa sedikit lebih berat.

Best Bunda Eveerrrr!!! 😁💜 is calling...

"Halo, Bun?"

"Assalamu'alaikum, Sayang. Udah mulai lombanya?"

krayon patah. [tercekal sementara]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang