HARYO

14.5K 1.3K 81
                                    

Sudah seminggu Haryo terkena typus dan harus istirahat dirumah karena ia takut dengan infus jarum suntik. Sehari setelah pulang dari pameran UMKM dan Agrobisnis dimana dirinya melihat Aghni dan Guntur yang sudah kembali bersama, Haryo terserang demam tinggi. Mbok Salamah yang kaget melihat wajah pucat dan suhu badan Haryo yang tinggi segera memanggil dokter Thalia untuk memeriksa majikannya. Wanita tua itu begitu mencemaskan majikannya karena ini pertama kalinya Haryo sekarat karena selama ini kalau majikannya sakit, itu hanya sakit biasa, tidak pernah sampai lemas bahkan tidak bisa bangun dari tempat tidur. 

Dokter cantik itu memberi Haryo obat penurun panas dan vitamin. Setelah tiga hari kondisi tubuh Haryo tidak membaik dokter Thalia menyarankan Haryo untuk cek laborat untuk mengetahui penyakit yang dideritanya. Haryo menolak karena menurutnya lebih baik minum obat sekardus daripada harus berhadapan dengan jarum suntik, entah itu untuk ambil darah, memasukkan obat atau cairan infus. Karena takut dengan jarum suntik, suami dokter Thalia yang juga seorang dokter mengambil darah Haryo secara paksa. Untung saja Haryo sedang lemas, kalau sehat sudah dipukulnya dokter Kamajaya yang songong itu, dia kira dirinya siapa main paksa-paksa orang. Entah bagaimana orang sekasar itu jadi seorang dokter, dokter kandungan lagi. Wajah memang tampan dengan rambut gondrong dan brewok yang sudah mirip hutan rimba, tapi kalau sikapnya arogan begitu pasti pasiennya akan lari. Haryo berharap saat Aghni hamil anaknya nanti dirinya akan mencari dokter kandungan perempuan saja, jadi dirinya tidak perlu bertemu dengan dokter songong itu. 

Mengingat Aghni, Haryo semakin merana, bagaimana mungkin Aghni hamil anaknya kalau saat ini gadis itu balikan sama Guntur. Apa sebaiknya Aghni segera dihamili saja, agar menikah dengannya dan tidak menikah dengan Guntur. Apa perlu dirinya menyantet Guntur agar Aghni jadi miliknya? Haryo mendesah tidak tenang. Ia hanya berguling-guling diatas kasurnya seraya memperhatikan lukisan wajah Aghni ditembok dinding kamarnya. Jika ada yang bertanya siapa yang sudah melukis gambar Aghni itu, jawabnya adalah Haryo. Hati panas karena cemburu dan sakit hati membuat dirinya langsung menggambar wajah Aghni yang sedang tersenyum dari ponsel pintarnya dalam ukuran besar. Alih-alih menghapus Aghni dari ingatannya, Haryo malah memandang wajah sang pujaan hati dalam bentuk yang sangat besar. Setelah menyelesaikan lukisannya dirinya langsung tergeletak tidak berdaya.

"Den mas?" Mbok Salamah mengetuk pintu kamar Haryo memanggil sang majikan. 

"Masuk mbok." Jawab Haryo lemah. Wanita tua itu masuk membawa nampan berisi makanan. 

"Apa itu mbok?"

"Ibunya mbak Aghni tadi ngirim jenang suro, mas."

"Aghni kesini mbok? Mbok bilang saya sakit kan? Suruh masuk saja mbok, Aghninya." Haryo bertanya atusias. Ia memang berharap Aghni mencarinya setelah beberapa hari dirinya menghilang dari peredaran Aghni. Haryo sengaja mencari tahu perasaan Aghni, apakah gadis itu merasa kehilangan dirinya, apakah gadis itu merindukannya karena Haryo sengaja tidak muncul ataupun mengirim pesan pada Aghni. Sayangnya keinginan Haryo hanya jadi keinginan saja, Mbok Salamah menggeleng perlahan karena tahu majikannya akan kecewa.

"Yang datang ibunya mbak Aghni, bukan mbak Aghni." Seperti dugaan mbok Salamah, Haryo menghembuskan nafas kecewa. Ia segera menutupi wajahnya dengan selimut, jengkel.

"Bawa saja jenang suronya, buat mbok atau kasih ke yang lain. Mulut saya masih pahit." Ujarnya lagi, kalau saja jenang suro itu yang membawa Aghni pasti langsung ditandaskan. Sayangnya yang membawa bukan Aghni, hilang sudah selera makan Haryo.

"Sudah seminggu den mas begini, den mas mau makan apa nanti simbok masakkan. Kalau den mas ndak teratur makan bukannya cepat sehat yang ada den mas semakin sakit. Gimana mau ketemu mbak Aghni kalau den masnya masih sakit."Mbok Salamah menasehati sang majikan dengan lemah lembut. Dirinya memang hanya pembantu dan pengasuh Haryo dirumah itu tetapi wanita itu begitu menyayangi sang majikan seperti anaknya sendiri. Jika rewang yang lainnya tidak berani berkomentar ataupun menasehati sang majikan, mbok Salamah melakukan itu dan Haryo tidak keberatan. Sepeninggal ibunya, hanya mbok Salamah yang setia merawat dan menjaganya. Wanita tua itu mencurahkan segenap kasih sayangnya untuk Haryo.

HARYO (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang