51. Extra 3

10.3K 1K 137
                                    

Dwi memperhatikan alat kelaminnya dengan seksama, ia masih melihat perbedaan sebelum dan sesudah di khitan. Menurut mas Eka, ada perbedaan sebelum dan sesudah, dan Dwi menyesal tidak mengambil gambar kelaminnya sebelum di khitan. Ia ingat perkataan sang kakak kalau sesudah di khitan nanti alat kelaminnya akan besar, tapi saat ini yang dilihat alat kelaminnya tidak berubah masih kecil saja, pasti ada yang salah saat ayah Seno mengkhitannya kemarin, bisa jadi obatnya kurang atau obatnya tidak cocok dengannya. Dwi menggelengkan kepalanya berusaha menahan tangis yang sejak tadi ingin ia suarakan. Bagaimana kalau alat kelaminnya tidak berkembang, bisa-bisa tidak ada gadis yang mau dengannya. Ia pernah mendengar bapak-bapak yang berbicara di warung kopi itu mengatakan kalau gadis-gadis suka burung yang panjang, lebar, besar dan keras, lalu mereka akan terbang bersama ke surga dunia. Dwi sendiri tidak tahu dimana surga dunia itu, kalau sekarang burungnya seperti mente di jambu monyet apakah nanti dia bisa ke surga dunia. 

"Mas Dwi, sedang apa?" Seno masuk kedalam kamar keponakannya, ia hendak memeriksa Dwi sepulangnya dari rumah sakit, tapi yang dilihatnya sang keponakan sedang memainkan alat kelaminnya.

"Apakah rasanya panas atau gatal?"

"Tidak keduanya ayah."

"Kalau begitu kenapa mas Dwi memegang alat kelamin mas Dwi?"

"Kenapa tampilannya seperti jamul ndak niat tumbuh begini ayah? Jangan-jangan ayah tellalu banyak menyuntik folmalin pada bulung dedek makanya jadinya begini, kecil, aduh kalau bulung dedek sepelti ini, bagaimana masa depan dedek, ayah? Mas depan dedek pasti sulam. Dedek ndak bisa pelgi ke sulga dunia, kalena kata paklik-paklik yang diwalung kopi itu kalau mau ke sulga dunia maka bulungnya halus panjang, besal, lebal dan kelas. Tapi punya dedek, jangankan panjang, ukulannya saja sebesal biji mente, mungil dan lemas." Dwi menghela nafas dengan berat, ada kesedihan dan kegundahan dalam hatinya. Tiba-tiba ia menyesal minta di khitan, harusnya dia minta khitannya nanti kalau alat kelaminnya sudah besar seperti terong atau mentimun jepang yang biasa dimasak mbok Salamah. Seno tersenyum mendengar penuturan sang anak. Ia mendekati Dwi dan duduk disebelah anak itu. Diangkatnya Dwi hingga anak itu berdri dan dimasukkan alat kelamin Dwi kedalam celananya tetapi ditolak oleh Dwi.

"Sudah ayah, bulung aku jangan dikulungin telus. Nanti ndak tumbuh-tumbuh. Bisa mati dedek nanti!" Dwi berteriak histeris. Seno membiarkan celana Dwi tidak terpasang. Ia lalu membawa anak angkatnya itu duduk dipangkuannya.

"Dwi anak ayah, Dwi percaya kan apa yang dikatakan ayah?" Dwi mengangguk. "Ayah akan mengatakan ini karena ayah seorang dokter dan ayah adalah ayah Dwi. Jadi Dwi tiak perlu takut ayah berbohong dan ayah tidak mungkin menyakiti Dwi kan." Dwi kembali mengangguk.

"Proses khitan memang seperti itu, burung adek tidak akan langsung besar setelah dikhitan, karena burung adek bukan balon dan ayah tidak meniup burung adek. Saat umur adek bertambah dewasa seperti papa, ayah, atau Om Guntur maka burung adek juga akan ikut berkembang mengikuti perkembangan tubuh adek."

"Dedek pelnah lihat bulung mas Eka. Bulung mas Eka lebih besal dali adek."

"Tentu saja burung mas Eka lebih besar, umur mas Eka kan diatas adek. Celana dalam mas Eka lebih besar dari celana dalam adek."

"Iya ayah, dedek ingat, celana dalam papa tiga kali lebih besal dali celana adek. Itu belalti bulung papa besal juga, iya ayah." Seno mengangguk. Dwi juga mengangguk. Diusapnya kepala Dwi penuh kasih sayang, setelahnya dibantunya sang anak memakai celana. 

"Ayah kesini sama bu dhe Ken?"

"Ayah sendiri, dari rumah sakit ayah langsung kesini. Mau jemput kamu."

"Bu dhe kemana? Biasanya ayah selalu dijemput bu dhe."

"Ayah sengaja ngga mau dijemput bu dhe karena ayah pengen berdua sama kamu. Bu dhe sedang ke rumah Tante Nastiti ada acara dirumah Om Guntur."

HARYO (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang