S

14K 1.3K 75
                                    

Sudah empat puluh lima menit Aghni menunggu Haryo menjemputnya seperti yang dijanjikan oleh suaminya itu. Udara cukup panas sehingga beberapa kali Aghni mengusap pelipisnya dengan tisue basah yang dibawanya. Beberapa pesan sudah dikirim pada Haryo, bertanya apakah suaminya itu jadi menjemput atau tidak. Bahkan Aghni sudah beberapa kalau menelfon dan tidak ada jawaban.

"Dek Aghni." Sebuah mobil berhenti didepan Aghni. Guntur menyapa dari balik kemudi. Aghni tersenyum lalu mendekat menuju mobil Guntur.

"Mas Guntur."

"Mau pulang? Ayo sekalian, mas antar." Aghni terlihat berfikir sejenak, ia menimbang-nimbang apakah tidak apa-apa ia pulang dengan Guntur.

"Telepon pak Dhe atau kasih kabar kalau kamu pulang sama mas." Aghni menuruti kata-kata Guntur, ia memilih pulang diantar Guntur setelah mengirim pesan pada Haryo daripada menunggu Haryo yang sudah terlambat hampir satu jam dari janjinya.

"Aghni duduk belakang saja ya mas."

"Iya tidak apa-apa, takut pak Dhe cemburu ya kalau nanti  kamu duduk disebelah mas?" Guntur berkata seraya tersenyum. Setelah Aghni masuk dan duduk dengan tenang, Guntur menjalankan mobilnya dengan perlahan.

"Mas Guntur dari mana?"

"Dari kantor bupati. Ada pengarahan disana. Pas pulang eh lihat kamu nunggu jemputan."

"Ngga balik ke kantor desa?"

"Ngga, mas sedikit pusing ini. Makanya mau pulang saja, mau istirahat."

"Jangan kerja terus mas, istirahat yang cukup dan minum vitamin."

"Hehehe... Iya. Dulu ada kamu yang sering ngingetin mas, sekarang ngga ada."

"Kan ada mbak Sekar, mas."

"Sekar ya, antara mas dan kakakmu hanya teman, dek. Mas tidak bisa lebih dari itu. Dulu mas memang pernah jatuh cinta sama Sekar, tapi sejak kehilangan kamu mas sadar bahwa yang mas cinta bukan Sekar tapi kamu, dek."

"Maaf mas Guntur."

"Ngga apa-apa, mungkin kamu bukan tulang rusuk mas. Lagipula kita keluarga sekarang. Pak Dhe memperlakukan kamu dengan baik kan? Mas tidak menyangka kalau pak Dhe memiliki rasa untukmu. Lucu ya keponakan di tikung pak Dhe nya sendiri. Semuanya berjalan begitu cepat sampai mas tidak bisa mempertahankan hubungan kita dan akhirnya mas harus benar-benar kehilangan kamu."

"Iya mas, pak Dhe baik dan perhatian."

"Mas senang mendengarnya. Maaf dek mas tanya ini, pak Dhe ngasih nafkah batin kan?" Wajah Aghni bersemu merah mendapat pertanyaan itu dari Guntur. Kenapa pula Guntur menanyakan itu .

"Bukan apa-apa, tiga pernikahan pak Dhe gagal karena ketidak mampuan pak Dhe. Bu Dhe Nilam bahkan sampai pergi ke dokter, kyai dan orang pintar untuk menyembuhkan pak Dhe tapi tetap saja gagal. Akhirnya Bu Dhe menyerah, karena tuntutan eyang Brama juga. Eyang Brama juga baik kan dek sama kamu? Tidak menuntut kamu segera punya keturunan kan?"

"Baik mas. Eyang tidak meminta hal itu mas. Setidaknya belum."

"Bukan apa, istri-istri pak Dhe sebelum kamu sering diintimidasi oleh eyang Brama. Ketidak mampuan mereka memberikan  keturunan di jadikan senjata oleh eyang untuk mendepak mereka. Padahal kita semua tahu yang mandul itu pak Dhe, yang bermasalah itu pak Dhe, tapi eyang tutup mata, terbukti kan sekarang dua istri pak Dhe menikah lagi dan punya anak, sedangkan pak Dhe meskipun sudah menikah dengan Bu Dhe Nilam tetap saja belum punya anak." Aghni terdiam saat Guntur mengatakan kekurangan Haryo.  Ia tidak berkomentar apapun karena itu adalah urusan rumah tangganya dan Haryo. Lagipula Aghni merasa Haryo tidak seperti yang dituduhkan orang-orang selama ini. Suaminya itu termasuk lelaki aktif dispringbed dan sebuas macan saat berhubungan hingga Aghni merasa kuwalahan.

HARYO (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang