5. Patience.

168 56 19
                                    

Nirmala.

"Neng Lala.. Neng, sini.. Kerrrr.. Kerr.." Pak Satpam melambaikan tangan ke arahku dari dalam pos tepat setelah aku selesai memarkirkan si Pingblek, motor matic kesayanganku yang memiliki perpaduan warna pink dan hitam.

Nah kan, mulai deh. Batinku jengkel.

Kalau Pak Satpam sudah bertingkah begini, tidak lain tidak bukan pasti beliau punya maksud terselubung. Biasanya sih beliau minta tolong untuk memberikan kiriman paket yang ada di pos ke guru yang bersangkutan.

Dulu aku pernah bertanya ke Bu Eva, apa sih yang membuat guru-guru di sini hobi banget nitip paket di sekolahan alih-alih ke kosan atau rumah mereka sendiri? Dan alasannya cukup sepele -- menghindari omelan atau ceramah orang tua di rumah karena terlalu sering membeli barang.

Sedangkan untuk pertanyaan ini, jelas aku tidak tau harus bertanya ke siapa : apakah selama ini Pak Satpam menyuruh semua orang yang kebetulan lewat di depan pos untuk mengantarkan paket atau hanya menyuruh aku saja? Karena belum ada sebulan, hal seperti ini sudah terjadi sebanyak 5 kali.

Sampai aku hafal benar kelakuan satpam berkumis putih tebal itu saat ada maunya. Tapi ujung-ujungnya tetap saja aku menghampiri beliau dan membantunya. Dasar aku.

"Kar ker kar ker, emang aku ayam?" protesku begitu sampai di depan pos. "Kenapa? Mau nitip apaan lagi?" lanjutku ketus.

"Hehe. Tau saja nih" balasnya nyengir.

Aku memutar kedua bola mataku. Ya tau lah. Sudah berapa kali aku disuruh-suruh gini?

"Neng Lala ruangannya di lantai 1 kan?"

Aku menatapnya dengan penuh kecurigaan. Tumben nih orang nanya langsung ke intinya. Biasanya kan beliau akan basa-basi dulu-- sok nanyain cuaca misalnya.

"Ya" jawabku nggak tertarik.

"Nah, kebetulan banget. Bisa tolong kasih ini nggak untuk Pak Dion di lantai 2? Ada titipan bekal nih dari ceweknya" jawab Pak satpam sambil menunjukkan sebuah plastik bening berisikan kotak bekal lock and lock dengan sebuah notes pink berbentuk hati di atasnya.

"Ih nggak mau, ah. Orang jelas-jelas aku di lantai 1 trus dia di lantai 2 kok malah nitip? Ngaco" tolakku.

"Ini namanya biar efisien, Neng Lala. Daripada nanti Pak Dion turun trus jalan dulu ke pos satpam untuk ambil bekal, mending dia ke ruangan Neng Lala saja kan?"

Aku melirik kotak makan itu masih dengan raut wajah nggak terima. "Ini pasti akal-akalan bapak doang, kan? Pasti sebenarnya bapak yang disuruh kasih ini ke ruangannya Pak Dion tapi karena bapak mager, jadi nyuruh aku. Iya kan?"

"Astaghfirullahaladzim.."

"Astaghfirullahaladzim.." ulangku dengan raut wajah mengejek.

Sok nyebut lagi nih orang. Aku kan bisa ngomong gini karena belajar dari pengalaman. Siapa suruh bohongin orang pakai taktik yang sama secara berulang-ulang? Dasar nggak kreatif.

Aku langsung mencari nama Pak Dion di kontak ponselku dan meneleponnya tepat di hadapan Pak Satpam. Mari kita lihat, apakah dugaanku benar atau aku hanya suudzon belaka.

"Hallo, Pak Dion. Ini aku, Bu Lala" sapaku seraya melirik Pak Satpam dengan tatapan tajam.

 Ini aku, Bu Lala" sapaku seraya melirik Pak Satpam dengan tatapan tajam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Things That We Didn't Say [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang