33. The Cure.

126 40 15
                                    

Nirmala.

"Gimana pudingnya? Enak kan, Lis?" tanyaku sambil memasukkan puding suapan terakhir ke dalam mulut

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Gimana pudingnya? Enak kan, Lis?" tanyaku sambil memasukkan puding suapan terakhir ke dalam mulut.

"Enak bangeeet" jawab Lisa sambil menunjukkan kedua ibu jarinya. "Pudingnya nggak terlalu manis, cocok sama oreonya"

"Nanti kalau ibuku masak cemilan yang enak lagi, pasti aku akan undang kamu untuk ke sini. Biar kamu nggak jajan mulu, kamu harus banyak makan makanan rumahan"

Lisa terlihat semakin bersemangat. "Harus dong! Tapi undangnya weekend saja ya, biar aku bisa ketemu Kak Arlan. Kalau ke sini nggak ada dia, kayak ada yang kurang gitu"

Aku menatap Lisa malas. "Kurang apa? Dia saja kalau melihat kamu bawaannya mau ngusir terus"

Lisa menunjuk wajahku dengan sendok kecil yang sebelumnya Ia gunakan untuk memakan puding, "Dia mengusirku karena terganggu dengan kecantikanku. Pasti jantungnya terasa nggak karuan saat melihatku, makanya dia memintaku pergi secepatnya. Biar jantungnya bisa terasa normal lagi"

"Waah, aku nggak tau harus berkomentar apa. Alasanmu sungguh masuk di logika" pujiku terkaget-kaget dengan sifat optimis dan pedenya yang kelewat batas itu.

Tapi ucapan Lisa memang tidak salah, kok. Selama ini aku juga sering refleks menjauh atau mengomeli Galen yang terus menempel denganku bukan karena aku membencinya, tapi karena aku nggak tahan dengan detak jantung yang rasanya nggak karuan.

Tapi maaf banget nih Lis, kalau urusan Kak Arlan, aku nggak yakin kalau itu alasannya. Kak Arlan tuh tipe yang gentleman banget. Ketika suka sama cewek, dia nggak mungkin ngusir kayak gitu.

Tapi lebih baik aku diam saja deh, nggak perlu komentar macam-macam. Daripada nanti terjadi pertumpahan darah.

Tak lama kemudian kami dikejutkan dengan bunyi piring jatuh dari arah dapur. Gaduh sekali.

"Apaan tuh?" tanya Lisa kaget. Ia lalu berlari membuntutiku yang sudah terlebih dahulu berlari ke arah sumber suara.

Aku langsung histeris begitu melihat ibu terduduk di dekat wastafel dengan dikelilingi beberapa piring yang terjatuh. Yang membuatku semakin panik adalah ketika ibu terlihat mengalami sesak napas.

"Bagaimana ini? Ibu kenapa?" tanyaku panik sambil menangis.

"Tenang, La. Kita ke rumah sakit sekarang, oke? Pakai mobilku saja. Aku ambil kunci mobil dulu di dalam tas, ya" ucap Lisa berusaha menenangkanku lalu berlari kecil ke arah kamar untuk mengambil kunci mobil.

***

Aku terus menghubungi nomor Kak Arlan, namun tak kunjung diangkat. Dasar Kak Arlan! Bisa-bisanya dia begini padahal aku sudah menghubunginya berulang kali.

Ibu sekarang sedang diperiksa oleh dokter. Sebenarnya, selain aku cemas menunggu kabar dari dokter mengenai penyakit yang dialami ibu, aku juga cemas jika nanti aku diarahkan ke tempat administrasi untuk melakukan pembayaran. Aku nggak punya duit! Boro-boro untuk bayar biaya rumah sakit sebesar ini. Untuk beli freshcare atau minyak tawon saja kadang aku mikir-mikir.

Things That We Didn't Say [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang