25. Live Your Life.

125 40 17
                                    

Galen.

Aku membenarkan penampilan sebelum masuk ke dalam cafe

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku membenarkan penampilan sebelum masuk ke dalam cafe. Dari jendela kaca cafe tersebut, aku bisa melihat ayah sedang berbincang dengan sosok bernama Arlan itu.

Telapak tanganku mendadak keringetan. Bagaimana bisa Arlan dan ayah saling kenal? Selama ini aku memang rutin melakukan konsultasi dengan si Arlan Arlan itu. Tapi tidak ada yang tau tentang hal ini, termasuk ayah. Tapi kalau ternyata mereka saling kenal gini, bisa bahaya.

"Hallo" sapaku sopan begitu sampai di meja tempat ayah dan Arlan berbincang. Tak lupa aku salim kepada ayah.

"Pagi anakku. Silahkan duduk" ucap ayah sembari menunjuk kursi kosong di samping Arlan.

Tapi aku lebih memilih untuk menarik bangku dan duduk di samping ayah. Sebenarnya aku mau tau lebih jelas lagi sih, sebagus apa sih seleranya Nirmala?

"Mau pesan apa?" tanya ayah kemudian.

"Teh manis hangat saja" jawabku tersenyum.

"Oke. Nanti kamu pesan sendiri ke pelayannya ya"

Aku refleks cemberut. Idih, ayah. Ngapain nanya kalo ujung-ujungnya aku pesan sendiri? Kirain mau dipesenin.

Mana si Arlan pakai pura-pura berdehem karena menahan ketawa. Rusak deh martabat.

"Oh iya Arlan, perkenalkan ini anak saya. Namanya Galen Ramdhan, kamu ingat nggak sama dia?"

Aku mengernyitkan dahi. Ingat dalam hal apa dulu, nih?

"Sepertinya kalau sudah sebesar ini, saat berpapasan pun saya nggak akan ngeh, Om" candanya. "Hai, Galen. Saya Arlan" ucap Arlan sopan sambil mengulurkan tangan.

"Sorry. Tanganku kotor karena abis main pasir untuk keperluan lompat jauh. Sorry banget" tolakku asal, tapi halus.

Hah. Main pasir untuk keperluan lompat jauh? Siapa juga yang percaya dengan alasan bodoh seperti itu?

"Ah dasar kamu. Kalo tanganmu kotor kenapa tadi kamu salim sama ayah" protes ayah tiba-tiba. "Arlan, kamu tunggu sebentar ya. Saya mau cuci tangan dulu. Galen, kamu juga cuci tangan ayo" lanjut ayah kemudian pergi menuju toilet.

"Ayah duluan saja , nanti aku nyusul" balasku. Apa alasan tadi cukup masuk akal ya sampai ayah percaya?

Begitu punggung ayah sudah tidak terlihat, arah mataku langsung mengarah pada sosok Arlan yang ternyata sedang memperhatikanku dengan tatapan tak terbaca.

"Jadi kamu yang namanya Galen Ramdhan?" selidiknya.

Aku masih terdiam. Aku belum tau ke mana arah bicaranya. Apakah dia sekarang mengenalku sebagai 'Galen seorang pasien' atau Galen lainnya?

"Kemarin kamu yang kasih Nirmala bunga, ya? Manis sekali. Tapi lain kali kamu tidak perlu repot-repot, ya" lanjutnya sopan. Tapi entah kenapa di telingaku itu terdengar seperti sarkas.

Things That We Didn't Say [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang