41. Warning Sign.

126 39 37
                                    

Penulis.

Sudah seminggu ini, ruang guru di lantai 2 nampak sepi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sudah seminggu ini, ruang guru di lantai 2 nampak sepi. Ruangan yang biasanya dipenuhi dengan kegaduhan dan pertengkaran, mendadak menjadi tenang dan penuh perdamaian.

Tapi ternyata ini bukanlah suasana yang diinginkan oleh Pak Raden dan Pak Dion. Seminggu tidak ada Galen, benar-benar aneh rasanya. Seperti trio bajaj yang kehilangan salah seorang personelnya.

Pak Dion menggebrak meja secara mendadak, membuat Pak Raden yang sedang fokus menyicil perangkat pembelajaran terperanjat kaget.

"Kamu mau bikin saya jantungan, hah?" omel Pak Raden sambil melempar Pak Dion dengan tissue bekas mengelap meja.

Pak Dion tak perduli dan langsung menarik bangkunya agar bisa duduk lebih dekat dengan Pak Raden. "Pak, saya kangen si Bontot" ucapnya cemberut.

"Ya sudah, telepon saja sana" balas Pak Raden acuh. Padahal mah, dalam hatinya juga merasakan rindu dengan Galen.

Bagaimanapun, beliau sudah terbiasa menghadapi dua makhluk yang selalu baku hantam di dekatnya. Sekarang, kedamaian semacam ini sungguh terasa asing baginya.

"Tapi kan katanya dia sakit parah, nggak bisa nerima telepon dulu"

Pak Raden menghentikan ketikannya. "Nah. Saya sebenarnya penasaran, sih. Dia sebenarnya sakit apa ya? Kok satu sekolah sampai nggak ada yang tau apa penyakitnya? Aneh banget"

Pak Dion menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Dia sebenarnya ingin sekali bercerita pada Pak Raden mengenai 'penyakit' yang dimiliki Galen, tapi dia tidak bisa.

Setelah kejadian yang menimpa Galen seminggu lalu, Pak Dion pun akhirnya mengetahui rahasia besar Galen, baik mengenai penyakit mentalnya dan juga siapa orang tuanya.

Saat itu, Pak Handoko yang merupakan pemilik yayasan beserta istrinya langsung datang ke sekolah setelah mendapat kabar mengenai kondisi Galen. Bagai tersambar petir, secara mengejutkan mereka memperkenalkan diri sebagai orang tua dari Galen. Mereka juga sedikit menjelaskan mengenai penyakit yang dialami Galen serta memperkenalkan siapa sosok yang awalnya Ia pikir sebagai 'pemuka agama' itu.

Setelah kondisi Galen mulai terkendali, Pak Handoko dan istrinya meminta orang-orang yang berada di sana untuk merahasiakan ini. Mereka tidak mau ada orang lain lagi yang tau mengenai penyakit Galen. Mereka bahkan memberikan imbalan berupa uang dalam jumlah yang tidak sedikit. Tentu saja saat itu Pak Dion menolak untuk menerima uang itu. Ia sudah menganggap Galen sebagai adiknya sendiri, tentu saja Ia akan merahasiakan aib ini dari semua orang dengan penuh keikhlasan.

Walaupun kenyataannya kini Pak Dion menyesal karena telah menolak uang itu. Seharusnya saat itu dia terima saja, toh saat itu dia dikasih, bukan meminta. 

"Kenapa kamu diam, Pak? Kamu tau sesuatu?" tanya Pak Raden kemudian.

Pak Dion refleks mengangguk kemudian menggelengkan kepalanya begitu sadar bahwa Ia telah salah menggerakan leher.

Things That We Didn't Say [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang