52. The Night.

106 36 26
                                    

Nirmala.

Nirmala

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"La. Sudah malam. Aku antar kamu ke rumah, ya?"

Aku melirik tajam sosok di sampingku.
Untuk kesekian kalinya aku benci dengan nada bicaranya yang tetap tenang seolah tidak terjadi apa-apa.

Padahal aku baru saja mendengar pengakuan dosa Galen mengenai dirinya yang dengan lancang membuka dan membalas inbox emailku dari perusahaan Singapura ketika aku tertidur saat menonton film dengannya. Dan parahnya lagi, dia membalasnya dengan penolakan!

Apa saat ini dia sebenarnya merasa bersalah padaku? Atau malah sebaliknya, dia tidak punya perasaan bersalah sedikit pun sehingga berani mengajakku pulang seperti ini?

Tapi tetap saja. Jelas-jelas dia tau kalau aku sedang marah, malah ngajak pulang bareng. Apa sih yang ada dipikirannya? Dasar orang gila, nggak waras, otak udang.. Ah nggak tau lah.

"Nirmala.. Ayo" panggilnya dengan nada merajuk. Aku merasa bahwa ada sedikit bagian dress-ku yang ditarik olehnya. Jika aku tidak marah padanya, mungkin tingkahnya saat ini akan sangat menggemaskan.

Aku sontak menoleh ke arahnya, melotot. Berani-beraninya dia memanggil 'Nirmala' dengan nada seperti itu? Apa dia pikir aku akan berubah pikiran, huh?

"Gal. Sebenarnya ada apa denganmu?" tanyaku tak habis pikir. "Kamu baru saja mengakui kesalahan besar padaku, lalu sekarang bersikap seolah di antara kita tidak terjadi apa-apa. Apa kamu tidak merasa sedikit pun rasa bersalah dengan semua hal yang telah kamu lakukan padaku? Berani-beraninya kamu mengajakku pulang bareng, hah? Di mana urat malumu?"

Galen terlihat menelan ludah. Rahangnya tampak mengeras entah karena dia sedang menahan dirinya untuk meledak atau karena dia sedang menahan egonya untuk mengelak.

"Bahkan sampai sekarang pun aku belum mendengar permintaan maaf darimu. Yang aku dengar hanya alasan untuk membenarkan perbuatanmu itu. Kamu pikir aku malaikat yang akan merasa baik-baik saja dengan tingkahmu itu, hah?"

Galen meraih kedua pundakku. "Oke. Aku.. Aku.." Ia tampak menundukkan kepala. "Tapi La. Aku tidak merasa bahwa ini adalah hal yang salah. Aku hanya tidak mau kita berpisah, itu saja. Apa benar aku harus meminta maaf padamu?"

Aku sempat melongo untuk beberapa saat sebelum akhirnya melepas kedua tangannya dari pundakku dengan kasar.

"Oke. Kamu tidak harus meminta maaf padaku. Toh, kamu hanya membuka emailku tanpa izin dan membalas email penting tanpa izin, kan? Oh ya, satu lagi. Kamu bahkan menolak email penerimaan kerjaku tanpa izin. Hanya itu yang kamu lakukan demi mempertahankan hubungan kita. Kamu hanya melakukan tiga kesalahan untuk satu tujuan, jadi kamu tidak perlu meminta maaf" sindirku dengan mata berkaca-kaca. Demi apapun, aku tidak tau bagaimana harus menghadapi sosok di depanku ini.

Aku sangat ingin berteriak, menghajar, dan memakinya. Tapi entah kenapa aku tidak bisa melakukannya. Dan ini malah membuatku semakin kesal dan sakit kepala.

Things That We Didn't Say [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang