61. Mom.

102 30 22
                                    

Galen.

Aku berdiri di depan pintu kayu cokelat bernomor ribuan itu dengan perasaan tidak karuan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku berdiri di depan pintu kayu cokelat bernomor ribuan itu dengan perasaan tidak karuan. Tak terasa genggamanku pada buket bunga yang ku beli juga semakin erat.

Hari ini aku berniat tidak melakukan apa-apa karena sedang beristirahat setelah menyelesaikan beberapa lukisan untuk pameran berikutnya.

Namun, tiba-tiba aku mendapat kabar bahwa ibu kandungku datang ke rumah lalu bertemu ayah dan ibu. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi pertemuan itu sepertinya tidak berlangsung baik. Buktinya, sekarang aku berdiri di sebuah pintu salah satu kamar VIP rumah sakit di Jakarta Selatan karena serangan jantung yang dialami ayah.

Setelah bertemu di acara pernikahan Dion, dengan tidak tau malu wanita itu beberapa kali datang ke rumah untuk menemuiku. Entah darimana dia bisa dapat alamat rumahku. Sayang sekali, Ia selalu datang disaat yang tidak tepat.

Padahal, aku ingin sekali bertemu empat mata dengan wanita itu. Bukan untuk mengatakan hal-hal manis. Bukan pula untuk menanyakan alasannya membuangku dulu. Aku juga tidak akan menanyakan alasannya mencariku kini. Tapi satu yang pasti, aku ingin menemuinya hanya untuk memintanya agar tidak muncul lagi di hadapan ayah dan ibu, lalu membuat mereka marah atau bersedih.

Aku menghembuskan napas kasar lalu mengetuk pintu tersebut beberapa kali, kemudian membukanya.

"Hallo Galen.." sambutan hangat dari ayah dan ibu ketika diriku baru memunculkan kepala di balik pintu, membuat senyumku mengembang.

Aku menutup pintu dengan hati-hati lalu berjalan ke arah mereka. "Ayah dan Ibu, lihat apa yang aku bawa" ujarku bersemangat sambil menggoyang-goyangkan buket bunga yang ku bawa.

"Waaah cantiknya" puji Ibu sambil menerima bunga tersebut. "Ayah, lihat. Cantik ya?"

Ayah yang masih dalam kondisi lemah mengangguk dan tersenyum. "Bunganya ganteng, kayak yang bawa"

Ibu terkekeh lalu mengelus pundakku. "Ngomong-ngomong, kamu sudah makan?"

"Ibu sendiri sudah makan apa belum?" tanyaku balik.

"Ibumu belum makan, tuh" aku menampilkan wajah kecewa saat mendengar jawaban yang dilontarkan ayah.

"Ajak ibumu makan, Nak. Daritadi dia hanya di sini nemenin ayah, padahal ayahmu sudah sehat begini" lanjut ayah lagi.

Aku mengangguk lalu menggandeng sebelah tangan ibu. "Mau makan apa? Ayo kita makan bersama, aku akan pesan gofood agar ayah tidak sendirian di kamar seperti yang ibu khawatirkan"

"Tidak usah. Makan saja di luar. Memangnya kalian tega bikin ayah ngiler sama bau masakan luar, sementara ayah cuma bisa makan makanan rumah sakit?" balas ayah cemberut.

Ibu tertawa mendengar balasan ayah. "Kita makan di kantin saja, ya? Ibu dengar ayam bakar di sini lumayan enak"

Aku tersenyum lalu mengangguk. "Ayo"

Things That We Didn't Say [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang