44. D-Day.

115 37 18
                                    

Penulis.

"Sudah tidak ada yang ketinggalan, Pak?" sambil duduk di meja kerjanya, Pak Raden terus memperhatikan Galen yang tampak sudah selesai mengemasi dan memasukkan barang-barangnya ke dalam kardus besar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Sudah tidak ada yang ketinggalan, Pak?" sambil duduk di meja kerjanya, Pak Raden terus memperhatikan Galen yang tampak sudah selesai mengemasi dan memasukkan barang-barangnya ke dalam kardus besar.

"Sepertinya sudah semua" jawab Galen kurang yakin, lalu mengecek lokernya. "Oke. Sudah bersih semua barang-barangku"

Pak Raden mengangguk lalu bangkit dari duduknya untuk menghampiri Galen dan menepuk bahu kirinya.

Galen hanya bisa tersenyum getir mendapatkan perlakuan seperti itu dari sosok yang sangat Ia hormati di ruangan ini. Pak Raden memang bukan tipe orang yang akan berbicara banyak. Tapi dari perlakuannya barusan, Galen bisa merasakan bahwa Pak Raden cukup menyayangkan keputusannya untuk berhenti mengajar di sekolah ini.

Kalau boleh jujur, sebenarnya dia juga tidak mau berhenti bekerja di sini. Dia merasa nyaman berada di sini, dan itu sudah lebih dari cukup baginya.

Tapi itu dulu, sebelum semua warga sekolah tau mengenai siapa dirinya yang sebenarnya. Sekarang, sekolah ini -- terutama warga sekolahnya, menjadi boomerang yang menakutkan baginya. Jika Ia memaksakan diri untuk bekerja di sini, pasti cepat atau lambat traumanya akan kambuh lagi. Itu pula alasan mengapa Galen memilih mengemasi barang-barangnya di hari Minggu, karena Ia menghindari tatapan orang-orang yang sudah mengetahui rahasianya.

Galen pernah dengar entah di mana, bahwa cara untuk cepat sembuh dari suatu penyakit adalah dengan melakukan segala hal yang berlawanan dengan anjuran dokter. Tapi bagi Galen, itu adalah saran terbodoh yang tidak akan Ia lakukan. Ia lebih memilih untuk mengikuti saran yang diberikan oleh psikolog dan orang tuanya, yakni dengan menjauhi segala sesuatu yang bisa memicu traumanya, karena Ia ingin hidup seperti manusia normal lainnya.

Yah, setidaknya dengan menghindari hal-hal yang membuatnya kambuh, Ia akan terlihat sebagai manusia normal.

"Si Dion beneran nggak datang, ya?" Galen menatap pintu yang terbuka itu dengan perasaan kecewa.

"Dia itu cowok cengeng yang benci perpisahan. Baguslah kalau dia nggak datang, saya nggak kebayang gimana merepotkannya dia kalau sampai datang" jawab Pak Raden acuh.

"Apa dia pernah begitu sebelumnya?" tanya Galen sambil menggendong ransel hitamnya.

"Tentu saja. Ya kamu tau lah, jarang ada orang yang betah berlama-lama menjadi guru. Sebelum kamu, sudah ada guru lain yang datang dan pergi. Respon Pak Dion selalu seperti ini saat teman seperjuangannya pergi.. Jadi ya gitu"

"Kalo mau ketawa mah ketawa saja, Pak" pancing Galen saat melihat sudut bibir Pak Raden yang terangkat saat menceritakan Pak Dion.

"Duh. Saya tuh sebenarnya sedih, Gal. Percaya deh. Tapi gimana ya, kalau sudah berurusan dengan Pak Dion tuh jadi lucu"

Akhirnya Galen dan Pak Raden menertawakan sosok yang tidak hadir itu bersamaan.

"Sini saya bantu bawa barangnya" tawar Pak Raden begitu telah puas menertawakan Pak Dion lalu mengangkat beberapa goodie bag milik Galen tanpa menunggu jawaban si pemilik.

Things That We Didn't Say [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang