Galen.
Apa kalian percaya dengan yang namanya takdir?
Sorry banget kalau jawaban kita berbeda, tapi sejak kecil aku sudah percaya dengan yang namanya takdir.
Jadi gini.
Eh, cerita banyak nggak papa kan?
Jadi gini.
Daritadi jadi gini mulu dah ah.
Oke, gini.. Lol.
Aku mulai dengan kesombongan dulu, ya. Sejak kecil, aku memang terbiasa hidup berkecukupan. Apapun yang aku mau, selalu ada dan diberi oleh orang tuaku. Aku punya orang tua yang selalu support apapun keinginanku, bahkan ketika aku lebih unggul di bidang non akademik dan selalu menomorduakan sekolah, orang tuaku tetap mendukung. Padahal, mereka adalah pemilik yayasan pendidikan swasta yang cukup besar di Jakarta. Seharusnya mereka malu memiliki anak yang selalu berada di kelas terbelakang sepertiku. Iya kan? Tapi nyatanya aku tetap dilimpahi kasih sayang oleh mereka.
Walaupun sejak kecil aku sering mendengar gosip kurang enak mengenai diriku. Tapi aku tetap merasa bahwa takdir hidupku sangat bagus, dan orang yang menggosipkanku hanya iri dengan kehidupanku.
Sampai akhirnya, ketika berada di bangku Sekolah Dasar aku menemukan fakta bahwa ternyata aku hanyalah anak hasil adopsi. Tidak memiliki hubungan apa-apa dengan orang tua yang selama ini memberikanku kasih sayang dan kecukupan materi adalah suatu bencana terbesar sepanjang hidupku.
Aku ingat benar setelah mengetahui fakta tersebut, aku langsung takut untuk berhadapan dengan orang-orang. Aku biasa mendapat perlakuan spesial karena orang tua angkatku yang memiliki nama dan jabatan. Aku takut jika suatu hari perlakuan orang-orang akan berubah padaku setelah mengetahui kebenarannya.
Sejak saat itu, aku benci dengan yang namanya perlakuan istimewa. Aku benci itu bahkan sampai sekarang. Entahlah. Fakta bahwa aku adalah anak yang dibuang di panti asuhan oleh orang tua kandungku, membuatku merasa tidak pantas saja untuk mendapatkan perlakuan seperti itu. Orang tua kandungku saja tidak menginginkanku, kenapa orang-orang harus memperlakukanku dengan baik?
Jujur, rasa takut yang tertanam sejak SD itu masih ada sampai sekarang. Tapi tidak separah dulu. Dulu, aku benar-benar tidak berani untuk keluar dari kamar karena takut dengan tatapan orang lain, termasuk para pembantu dan supir di rumah.
Kejadian tersebut membuat orang tua angkatku akhirnya memanggil seorang psikolog anak. Hampir setiap minggu, seorang laki-laki berusia 35-an dengan wajah oriental dan badan yang tegap datang memasuki kamarku. Sesuai dengan perawakannya yang berwibawa, cara beliau berbicara pun sangat menenangkan. Terkadang Ia datang dengan membawa anak perempuannya yang berbadan gemuk dan tomboy.
Kehadiran anak dan bapak itu cukup berhasil mengobati rasa takutku. Mereka berdua saling mengisi satu sama lain, di mana ayahnya dengan sifat seperti raja dan anaknya dengan sifat seperti monyet.
KAMU SEDANG MEMBACA
Things That We Didn't Say [END]
Ficción GeneralRANKING : 1 #IU [24 November 2021] 7 #VIU [15 September 2021] 69 #VBTS [25 Februari 2022] 98 #Dream [23 September 2021] 100 #Friendzone [23 Sept 2021] Secara mengejutkan Nirmala bertemu kembali dengan Galen, cinta pertamanya semasa SMA. Kini mereka...