Last Chance (2)

54.6K 5.1K 469
                                    

Agam menyetir dalam keadaan pikiran kacau. Wajah wanita yang tadi bersama Sofia memang cukup berbeda dari wanita yang Agam simpan fotonya. Mungkin efek make up. Apalagi saat ini wanita itu tengah mengandung.

"Mas Agam! Awas!" teriak Sofia saat mobil yang mereka tumpangi hampir saja menabrak mobil di depan mereka.

Agam dan Sofia menghembuskan napas panjang saat mobil berhenti tepat sejengkal dari mobil di depan mereka. Sofia sudah melotot. Sejak tadi dia menahan napas. Agam kenapa, sih? Kalau sampai Nando tahu, habis pria itu oleh suaminya.

"Maaf, Fi, maaf," lirih Agam dengan wajah bersalah menatap adik iparnya.

"Mas Agam kenapa? Gantian aja aku yang nyetir," Sofia turun dan segera berlari kecil mendekati pintu di sebelah Agam.

Agam keluar. Tapi pria itu tidak masuk lagi. "Kamu balik sendiri gak papa, ya? Mas ada urusan penting," ujar Agam sambil mengelus lengan Sofia.

Belum sempat wanita itu menjawab, Agam sudah berlari ke arah yang berlawan untuk mencari taksi. Sofia dibuat keheranan oleh tingkah kakak iparnya itu.

Sementara di lain tempat, Alma mengusap sudut matanya. Alma harus kuat. Ini bukan salah Agam sepenuhnya. Dia yang datang dan menyerahkan diri pada pria itu. Andai saja malam itu Alma tidak nekat menggantikan rekannya untuk mengantarkan minuman ke ruang pribadi Agam, mungkin perutnya tidak akan berisi janin ini.

"Gak papa, ya, Nak, kalau Ayah gak kenal kita," gumam Alma sambil mengelus perut buncitnya.

Mungkin, setelah melahirkan, Alma akan cari pekerjaan dan pindah dari rumah ini. Alma ingin anaknya nanti punya kehidupan yang agak baik.

"Jadi, Pak Agam udah punya istri?" tanya Alma sambil mengingat wajah wanita yang begitu baik padanya beberapa saat lalu. Alma juga sempat menahan napas di dalam mobil saat matanya tak sengaja menatap jari manis Agam. Ada cincin yang melingkar di sana.

"Aku gak boleh mimpi. Istrinya dan aku gak sebanding. Kayak langit dan bumi," gumam Alma sedih.

Alma beranjak dengan hati-hati dari duduknya. Saat hendak memasuki kamar, pintu rumah Alma diketuk berulang kali dengan tidak sabaran.

Alma mengernyit bingung. Siapa yang kurang ajar mengetuk pintu rumahnya seperti itu? Tetangga? Tidak mungkin. Hampir 7 bulan di sini, Alma tidak pernah berinteraksi dengan siapa pun. Apalagi jarak rumah di sini juga jauh-jauh. Dan rumah yang Alma tempati ini yang paling akhir.

Karena takut akan orang asing atau orang jahat, Alma mengintip sedikit dari celah jendela. Keningnya berkerut karena tidak ada siapa-siapa.

"Orang iseng kali, ya?" gumamnya.

Namun, ketukan kembali terdengar. Kali ini Alma kesal dan segera membuka pintu rumah. Tubuhnya langsung kaku dan matanya tidak berkedip.

Alma ingin menutup pintu kembali, tapi pintu tersebut lebih dulu ditahan oleh pria di depannya. Tenaga yang tidak sebanding membuat Alma kalah. Tubuhnya mundur beberapa langkah karena terdorong.

"Kamu ngapain ke sini?!" seru Alma mulai panik.

Pria di depannya tertawa sinis. "Jadi ini alasanmu pergi dari rumah? Anak haram, hm?"

Alma mengepalkan tangannya. "Bukan urusanmu!" serunya.

"Sebenarnya aku gak mau peduli, tapi mengingat keluargaku yang dipermalukan, aku jadi ingin membalas dendam padamu," ujar pria itu dengan kesal.

"Jangan nekat, An! Kamu bisa aku laporkan!"

Pria bernama Aan itu terkekeh. "Silakan. Wanita lemah dan miskin sepertimu gak punya apa-apa untuk mengancam ku. Kamu kira, setelah kamu kabur di hari pernikahan kita, keluargamu baik-baik aja?"

SHORT STORY 2017 - 2021 (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang