Blind Date (2)

33.4K 3.3K 143
                                    

Kelana tersenyum pada seseorang yang tengah melambai padanya. Kakinya semakin cepat melangkah agar segera sampai di depan orang yang ditemuinya malam ini.

"Ya ampun, Kelana! Kangen banget!" seru suara merdu yang membuat Kelana tertawa renyah.

"Lagi isi, ya?" tanya Kelana setelah mereka melepaskan pelukan singkat penuh kehangatan itu.

"Hm. Tuh laki gak bisa lihat gue langsing dikit dibikin gembung lagi," keluh lawan bicara Kelana.

"Laki lo masih memegang teguh pribahasa 'banyak anak banyak rejeki'." Kelana sengaja berujar agak kencang agar seseorang yang saat ini mendekati mereka mendengarnya.

"Emang terbukti. Lahir satu anak, gue buka cabang perusahaan baru. Sekarang anak tiga, cabang perusahaan udah tiga. Lo kapan?"

Kelana mencibir kalimat yang berujur pertanyaan penuh ejekan itu. Apalagi saat ini keduanya berciuman mesra di depan matanya.

"Alasan gue mikir jutaan kali buat dateng ya, ini." Kelana menghela napas panjang dan memilih duduk dengan wajah yang ditekuk.

"Lo gimana? Masih gak berani jujur sama Oja?"

Kelana menggaruk pelipisnya saat wanita di depannya bertanya. Sial. Kenapa bahas Oja sih? Kan, Kelana jadi tidak tenang memikirkan wanita itu sedang kencan dengan seseorang saat ini.

"Gak perlu kayaknya," jawab Kelana asal.

"Mending sakit ditolak daripada nyesel gak jujur," kata pria di depan Kelana.

Ya, Kelana tahu. Harusnya malam ini ia membawa Oja sebagai pasangannya untuk datang ke sini. Sayangnya, langkah Kelana tidak tepat. Ia datang menjemput Oja malah berakhir mengantarkan wanita itu untuk berkencan.

"Atau lo takut Oja hidup melarat kalau sama lo?"

"Mas kira Kelana gak mampu ngehidupin Oja?" dengkus wanita yang menjadi sahabat Kelana sejak kanak-kanak itu.

Kelana meringis. Perkara uang, Kelana bisa mengusahakan segalanya untuk Oja. Tapi bukan itu masalahnya. Kelana tidak siap kalau sampai Oja menolaknya. Apalagi jika nenek mereka tahu tentang perasaan Kelana, ia dan Oja tidak akan pernah bisa bertemu lagi.

Aturan keluarga yang merepotkan.

"Mungkin sekarang iya. Kelana masih punya segalanya. Tapi kalau mereka beneran berhubungan, dan keluarga besarnya tahu, kamu tahu resikonya apa?" tanya pria yang sudah menjadi sahabat Kelana sejak di bangku kuliah itu pada istrinya.

"Apa?"

"Kelana harus pergi jauh dari keluarganya dan identitasnya sebagai cucu Marisa akan dihapus. Kamu tahu artinya apa?"

Wanita di sebelahnya mengangguk pelan sambil menatap sedih pada Kelana. "Gue gak tahu kalau keluarga kalian serumit itu bikin aturan."

Kelana mengangguk pelan dengan senyum terpaksa di bibirnya. "Oja segalanya bagi nenek gue. Dia ingin Oja mendapatkan yang terbaik."

"Tapi lo gak kurang apa pun, Kelana!"

"Menurut nenek gue gak gitu, Alamanda. Yang pantas bersanding sama Oja tentu yang kastanya lebih tinggi."

Wanita yang dipanggil Alamanda itu berdecak kesal. "Tuh nenek udah tua nyusahin pula. Kasta lebih tinggi dari keluarga Oja? Gak ada!"

Kelana tersenyum geli. Kelana tahu, peraturan dan syarat tak masuk akal dari neneknya hanya agar ia dan para sepupunya yang lain tidak mendekati Oja apalagi sampai berpikir akan menjalin hubungan serius dengan cucu kesayangannya itu.

"Ayo makan. Laper gue," keluh Alamanda karena pembahasan mereka tentang Oja menguras energinya.

***

SHORT STORY 2017 - 2021 (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang