Alma sedang bergelut dengan alat dapur menyiapkan makanan untuknya dan Agam. Sementara Agam menunggu di ruang tamu sambil memeriksa kembali laporan dari orang kepercayaannya tentang Alma. Pria itu menolak saat Alma menyuruhnya pergi. Katanya, Agam tidak akan pergi kalau Alma tidak mau ikut dengannya pindah dari rumah ini.
Senang?
Entahlah. Alma tidak paham dengan perasaannya. Jika dulu ia begitu mengharapkan Agam, tapi kecewa, maka setelah 7 bulan berlalu, Alma tidak ingin kecewa lagi jika menaruh harapan berlebihan.
Agam... Bukan pria single. Itu yang Alma tanam di benaknya. Meskipun janin yang dikandungnya adalah darah daging Agam, tapi Alma tidak akan pernah merusak rumah tangga pria itu. Apalagi istri Agam begitu cantik dan sangat baik.
Kenapa takdir malah mempertemukan mereka kembali? Alma sudah berusaha menata hidupnya seorang diri. Hamil tanpa didampingi siapa pun, bukanlah hal mudah. Dan lihat sskarang, Alma seolah tidak bisa dibiarkan tenang.
Bertemu dengan Sofia dan Agam secara bersamaan adalah kejutan yang sangat mendebarkan. Alma ketakutan. Bagaimana kalau Sofia curiga? Alma tidak ingin menyakiti hati sesama wanita.
"Maira,"
Alma tetap diam. Wanita itu tengah melamun sehingga tidak sadar kalau air panas hampir saja mengenai tangannya.
"Ya, Tuhan!" seru Alma terkejut saat tubuhnya ditarik ke belakang dan menubruk dada bidang Agam.
Jantung Alma berdetak tak karuan. Apalagi saat Agam menggenggam tangannya dan sebelah telapak tangan pria itu berada di perutnya.
"Kena gak?"
Alma bingung dengan pertanyaan Agam. Wanita itu mendongak ke sebelah kanan sehingga wajahnya dan wajah Agam begitu dekat.
"Tangannya kena gak?" ulang Agam.
"H-hah?" Alma beralih menatap tangannya, lalu berikutnya pandangam Alma tertuju pada kompor di depan mereka.
"O-oh, enggak," jawabnya setelah paham.
Agam menghela napas panjang. "Lagi masak jangan melamun. Kalau kamu kena air panas mendidih kayak gitu, gimana?!"
Alma menelan air ludah. Ini Agam, kan? Atasannya di kelab malam dulu, kan? Kenapa pria dingin itu berubah hangat? Dan... nada bicaranya juga berbeda.
"M-maaf," Alma melepaskan diri dan menjauh dari Agam. Dia tidak mau ada kesempatan untuk berbuat khilaf. Mereka 2 orang dewasa dan jelas memiliki nafsu birahi. Apalagi semenjak hamil, hormon Alma tidak menentu.
"Kamu duduk aja, biar saya yang selesaikan," titah Agam.
Alma menggeleng, "gak usah, Pak, saya bisa sendiri. Bapak ke depan aja," tolaknya.
Agam menarik napas dan menghembuskannya perlahan. Wanita bisa sekeras kepala ini. Agam harus sabar dan tidak boleh gegabah untuk mendekati Alma. Waktu 7 bulan sudah cukup untuk membuatnya hampir gila.
Agam tahu kalau pertemuan mereka berawal dari nafsu dan pengaruh dirinya oleh alkohol. Tapi Agam sangat paham perasaannya. Ketika ia ditinggak kekasihnya, Agam tidak sekacau ditinggal Alma.
"Saya tunggu di sini. Saya gak mau kamu malah ceroboh lagi, atau bahkan membahayakan anak saya," ujar Agam sambil memilih duduk di kursi yang berada di meja makan.
Alma yang membelakangi Agam seketika mengepalkan kedua tangannya. Kompor sudah dimatikan oleh Agam sejak tadi. Sehingga Alma tidak perlu khawatir lagi akan tumpahan air panas.
"Kenapa Bapak yakin sekali anak yang saya kandung ini anak Bapak?"
"Apa bukti yang saya kasih kurang jelas?"
Alma menelan dadanya. Ingatan saat Agam menyebut nama 'Maya' ketika mendapatkan pelepasannya kala itu membekas dalam di ingatan Alma. Itu yang membuat Alma sadar diri kalau dirinya hanyalah pelarian satu malam.
"Bapak gak kenal saya. Bapak juga gak tahu setelah itu saya tidur dengan pria mana saja," ujar Alma dengan nada dingin.
Agam meradang. Pria itu berdiri dari duduknya dengan kasar sehingga bunyi decitan kaki kursi membuat Alma memejamkan mata. Apa Agam marah? Apa pria itu akan pergi? Baguslah. Alma tidak bisa berlama-lama...
"Apa saya perlu mengulanginya lagi, Maira? Atau kamu sengaja memancing saya? Jika benar kamu melakukan apa yang kamu ucapkan itu, saya akan membunuh semua pria yang pernah menyentuh kamu," bisik Agam di telinga Alma.
Alma membeku. Apalagi saat ia bisa merasakan bagaimana hangatnya belitan lengan Agam di tubuhnya.
"I-ini... salah..." Alma mencoba melepaskan diri, tapi Agam tidak memberinya ruang untuk itu.
"Gak ada yang salah," balas Agam. Kini telapak tangannya mengelus perut buncit Alma. Sebuah tendangan dari dalam sana membuat Alma meringis. Sementara Agam langsung takjub.
"Itu..."
"Dia menendang,"
"Bahkan dia tahu kalau itu tangan ayahnya," Agam berbisik serak di ceruk leher Alma.
Alma memejamkan mata. Kulit tubuhnya seketika meremang karena hembusan napas hangat Agam di lehernya.
"P-Pak..."
"Saya merindukan kamu, Maira. Waktu tujuh bulan begitu menyiksa. Kamu pergi sangat cepat dan saya merasa dicampakkan setelah dipakai,"
Alma tidak terima. Wanita itu menghempaskan lengan Agam, lalu membalikkan tubuhnya. Alma tersenyum sinis menatap Agam yang mengerutkan kening.
"Bapak kira wanita mana yang akan tetap tinggal setelah dengar nama wanita lain yang disebut saat bercinta dengannya? Saya akui saya..." Alma mengusap wajahnya. Sial. Dia kelepasan bicara.
"Udahlah, lupain. Sebaiknya Bapak pulang saja. Kasihan kalau sampai istri Bapak tahu tentang ini. Saya harap ini terakhir kalinya kita bertatap muka," Alma meninggalkan Agam di dapur. Wanita itu kembali ke ruang tamu dan meraih ponsel milik Agam, lalu memberikannya kepada Agam yang baru saja berdiri di depannya.
"Ini, silakan," Alma menunjuk pintu rumahnya.
Agam tersenyum tipis. "Kamu cemburu?"
Alma mengerutkan kening. Cemburu? IYA, BODOH! Masih saja ditanya.
"Saya ingin istirahat, dan saya mohon untuk Bapak segera-"
"Saya gak akan pergi, Maira. Mau kamu usir saya gimana pun, saya gak akan pernah ninggalin kamu."
Agam merengkuh pinggang Alma sehingga kini perut buncit Alma menekan perut Agam. Tidak sampai menyakiti janin di dalam sana, karena Agam tahu batasannya.
"A-apa yang-"
Alma membelalak kala Agam berhasil membungkam bibirnya. Apa-apaan ini?!
Agam tidak memberikan Alma waktu barang sedetik pun untuk berpikir. Pria itu tahu titik-titik kelemahan Alma di tubuhnya. Sehingga tidak begitu sulit bagi Agam untuk menaklukkan wanita yang mengandung darah dagingnya tersebut.
"Aahh..."
Agam tahu ia salah. Malam itu, saat ia mendapatkan puncaknya, Agam teringat kembali pengkhiatan kekasihnya. Agam kesal dan marah. Sehingga tanpa sengaja ia mendesisnya nama wanita tersebut. Ternyata Alma mendengarnya. Sialan.
Agam mendudukkan dirinya di sofa. Sementara tangannya membimbing Alma dengan hati-hati untuk duduk di atas pangkuannya. Alma munafik jika menolak. Sentuhan tangan Agam begitu memabukkan.
"P-Pak..."
"Mas... Panggil saya Mas,"
Alma mendongak kala Agam kini mencumbu kulit leher dan kulit dadanya.
"Ah..."
"Panggil Mas, Maira," bisik Agam.
"Mas Agam..."
Agam tersenyum. Dia akan membuat wanita itu hidup bersamanya selamanya. Tunggu saja.
***
Tipis-tipis dulu. Ntar malem baru naena sampe kucrut...
Detik-detik pengumuman GA!
Pantengin IGS yes!
KAMU SEDANG MEMBACA
SHORT STORY 2017 - 2021 (END)
Romance[MATURE 21+] Semua cerita hanyalah karangan penulis saja. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat atau kejadian, itu hanyalah ketidaksengajaan. Harap bijak dalam memilih bacaan sesuai usia. Follow dulu jika ingin mendapatkan notifikasi update. Start, 2...