•Skala•
"Buat apa?"
Bukan, bukan Belva yang menjawab melainkan Skala. Lelaki itu baru saja datang memasuki kelas Belva.
Bukannya menjawab, Stella malah menubruk badan Skala lalu memeluk lelaki itu erat, badannya bergetar di pelukan Skala pertanda bahwa cewek itu kini tengah menangis.
Tentu saja Belva terkejut, bukan hanya Belva beberapa orang yang menyaksikan kajadian inipun ikut terkejut.
"Lepas." Skala melepaskan pelukan Stella pada tubuhnya. "Jangan peluk orang smebarangan." tegasnya.
Stella menundukkan wajahnya. "Kakak." Paraunya.
Skala mengangkat alisnya bingung. "Kakak?"
"Ak- aku Astella adik Kakak."
Dalam sekejap raut wajah Skala berubah, rahang lelaki itu mengeras serta matanya kini menajam menatap Stella.
"Lo anak jalang itu?"
Stella mendongakkan kepalanya, "Kakak nggak boleh ngatain ibu aku begitu!"
"Emang itu kan kenyataannya?"
"Tapi kakak nggak perlu ngehina Ibu, Ibu udah berubah!"
"Iyalah berubah, udah dapet duit banyak nggak perlu jual diri lagi."
Stella menggeleng, mencoba menghilangkan rasa sakit dihatinya karena perkataan Skala. "Ayah sakit kak, ayah ingin ketemu kakak." jelasnya.
"Terus urusannya sama gue apa?"
"Ayah kena serangan jantung. Please temui dia sekali aja. Dia orang tua kakak juga."
"Dia bukan orang tua gue sejak ada lo."
Stella kembali menggeleng, "Gimana pun darah lebih kental dari Air, mau kakak menyangkal sekuat apapun dia tetep Ayah Kakak."
"Diem! Lo bukan siapa-siapa. Jangan ikut campur urusan gue." sentak Skala.
"Aku adik Kakak."
"Gue nggak sudi punya adik dari rahim wanita lain selain Mami gue."
"Dimana hati nurani kakak? aku cuma minta kakak buat jenguk Ayah. Nggak lebih."
Plak!
Skala menampar Stella dengan kuat."Gue benci banget sama lo." ujarnya.
"Skala!" Belva menahan tangan Skala, ketika lelaki ingin melayangkan kempali tangannya pada pipi Stella.
"Lepas!" perintah Skala sambil menyentak tangan Belva. setelah tangannya terlepas, Skala mendekati Stella yang menunduk sambil memegangi bekas tamparangnya.
Tangan Skala mencengram kuat pipi Stella membuat Stella meringis kesakitan. "Lo penyebab semua kekacauan di hidup gue."
Brak
Skala mendorong tubuh Stella ke arah meja membuat perempuan itu terbentur. Beberapa orang terpekik kaget.
"Udah Skala udah!" Belva menahan tubuh Skala dengan memeluk lelaki itu dari belakang.
"Lepas, gue mau abisin dia."
"Nggak, sadar Ska!"
Skala mengehala nafasnya kasar, matanya memerah menatap Stella yang sudah menangis tersedu di pelukan Marshella.
Skala menarik Belva meninggalkan kelas, langkah besarnya berjalan menuju area belakang sekolah yang jarang di kunjungi para siswa disana.
Sesampainya di bawah pohon besar. Skala mengentikan langkahnya, menarik tubuh Belva lalu memeluknya erat, Menyembunyikan wajahnya di leher Belva.
"Hiks... Sakit Bel, sakit." adunya pada Belva.
Belva merasakan lehernya basah, Skala benar-benar menangis disana. Ini pertama kalinya Belva menyaksikan Skala selemah ini. Hatinya ikut ngilu menyaksikan Skala yang biasanya begitu tangguh kini begitu rapuh dalam pelukannya.
"Nggak papa, ada gue." ujar Belva berusaja menenangkan.
"Gara-gara dia, Papi nggak peduli lagi sama gue. Gara-gara dia Mami pergi ninggalin gue. Dia ngerebut segalanya dari gue Bel!" racaunya.
Jika bisa memilih, Belva lebih memilih Skala yang kasar dibandingkan Skala yang seperti ini.
"Gara-gara anak sialan itu gue nggak punya siapa-siapa." Lanjut Skala.
"Sekarang lo punya gue."
"Lo juga bakal pergi kan? pada akhirnya semua bakal ninggalin gue."
Belva mengangkat wajah Skala, tangannya menghapus air mata yang jatuh dari mata Skala lalu mengelus pipi Skala dengan lembut. "Gue nggak bakal ninggalin lo." ucapnya berjanji.
"Sakit banget, hati gue sakit setiap inget gimana kacaunya hidup gue karena cewek itu."
Belva mengangguk. "Iya gue ngerti."
Belva membawa kepala Skala untuk menyenderkan pada bahunya, tangannya mengelus rambut Skala pelan. Membiarkan Skala kembali menumpahkan segala keluh kesahnya yang selama ini lelaki itu pendam.
"Andai gue nggak ketemu lo, gue pasti udah milih buat mati. Gue cape."
"Kalo lo mati gue sam cowok lain."
Skala mengangkat wajahnya mendengar perkataan Belva. "Jangan ngarep!" ujarnya ketus.
"Nggak ngarep kok, gue kan cuma bilang seandainya lo mati."
"Lo mau gue mati?"
Belva mengangguk, membuat raut wajah Skala berubah sendu, lelaki itu kembali menyandarkan wajahnya pada bahu Belva.
Belva terkejut ketika merasakan bahunya basah, Skala menangis lagi.
"Gue emang nggak pernah diinginin sama siapapun."
"Gue bercanda astaga." kata Belva.
"Bercanda lo nggak lucu." rengek Skala masih menangis. "Gue ngerasa nggak berharga."
Belva menghela nafasnya, tanganya mengelus rambut Skala yang mulai lepek karena keringat.
"Seberat apapun masalah lo, jangan pernah berpikiran buat mati ya, gue ada di samping lo kapanpun lo butuh, jangan pernah ngerasa sendirian Skala."
"Gue sayang lo Bel. Jangan tinggalin gue ya." gumam Skala.
•Skala•
Jijik nggak Skala jadi melow begitu?
KAMU SEDANG MEMBACA
SKALA
Teen FictionSudah terbit, tersedia di Gramedia dan toko buku online. Part lengkap (proses revisi) _______________ Gimana rasanya menjadi kekasih seorang berandal? Tanyakan saja kepada Belva. bukannya merasa menjadi ratu seperti novel-novel yang di bacanya, Belv...