40

240K 26.8K 11.1K
                                    

Nungguin ya? papalepapale

•Skala•


Setelah sesi perkenalan tadi, Araka mengajak Belva berkeliling taman. Araka sendiri  adalah anak dari Farah yang seumuran dengan Belva. Leleki itu memiliki cita-cita yang sama dengan Ibunya.

Sifat Araka yang hangat membuat banyak orang nyaman kepadanya. lelaki itu begitu menghormati lawan bicaranya, seadari tadi tidak pernah sekalipun Araka memotong omongan Belva.

"Dari kecil gue seneng berteman dengan siapapun, Itu ngebantu banget buat gue tau dan mengenal kepribadian orang-orang." jelas Araka ketika Belva bertanya alasan lelaki itu ingin berteman dengannya.

"Lo sering berteman dengan orang gila kaya gue?"

Araka tersenyum. "Maksud lo pasien ibu gue? No, mereka bukan orang gila, mereka cuma orang yang perlu dibantu untuk melawan rasa takutnya, rasa takut yang menyebabkan mereka begitu." jelas Araka lagi. "Dan lo bukan orang gila Belva."

"Ibu gue psikolog, gue tau jelas bagaimana caranya mendekatkan diri dari beliau. Bahkan sebelumnya gue bisa berteman dengan orang yang punya trauma lebih parah dari lo, hebat kan?" katanya bangga.

"Terkadang untuk melawan trauma lo harus berhadapan dengan trauma itu sendiri, sebagai contoh lo takut dengan laki-laki, dan disini gue bakal ngebantu lo ngelawan trauma itu. Jangan terlalu menyalahkan diri sendiri atas apa yang terjadi. Ikhlasin pelan-pelan semuanya, gue  tau nggak gampang, tapi ketika lo ikhlas semuanya akan baik-baik aja."

"Kenapa mau jadi psikolog?" tanya Belva canggung.

"Gue seneng ngebantu orang yang kehilangan tawanya mendapatkan kembali hal tersebut, sesimpel itu sih." jawab Araka.

Araka menggiring Belva ke tepi kolam ikan terapi. Lelaki itu menggengam tangan Belva lalu memasukkan tangannya sekaligus tangan Belva yang berada di genggamannya ke dalam kolam.

"Auw!" pekik Belva ketika ikan-ikan kecil itu mulai menggigiti tangannya.

"Santai, jangan tegang. Lama-lama enak kok." Araka mengeratkan genggamannya pada tangan Belva.

"Geli." desis Belva, tawanya menggema.

Untuk pertama kalinya setelah kejadian itu, akhirnya tawa Belva kembali. Berkat Araka.

Araka tersenyum, tangannya melepaskan tangan Belva dari genggamannya. "Mau coba di kaki? lebih enak loh." katanya.

Belva mengangguk lalu berdiri melepaskan sendalnya, wanita itu duduk di tepi kolam bersebelahan dengan Araka yang sudah mencelupkan kakinya.

"Nggak sakit kan?"

Araka menggeleng, Belva dengan ragu mencelupkan kakinya.

"Geliii." kata Belva kegelian.

Tawa kecil terdengar dari bibir Belva, melihat itu Araka ikut tertawa. Matanya menatap Belva lembut.

Merasa di perhatikan, Belva menolehkan wajahnya, kini matanya bertubrukan langsung dengan mata Araka. Keduanya saling menatap tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Araka memutuskan tatapannya dari Belva, lelaki itu kini menatap ke arah kakinya yang sedang dikrumuni ikan.

"Jangan tatap gue begitu." ujar Araka.

"Kenapa?" tanya Belva.

"Takutnya gue suka lo." jawab Araka pelan.

Tawa Belva kembali terdengar, wajah Araka yang bersemu begitu lucu untuknya.

"Gue nggak tau pasti kejadian apa yang buat lo kehilangan senyuman lo itu, tapi disini gue janji bakal usaha buat bikin lo selalu tersenyum." kata Araka.

SKALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang