51

150K 23.9K 17.4K
                                    


•Skala•

"Belva?"

Belva menoleh, menatap Araka yang juga tengah menatapnya dengan raut cemas. Melihat mata Belva yang berkaca-kaca lelaki itu membawa tubuh Belva kedalam pelukannya.

"Huss, nggak papa. Lo hebat." ujar Araka ketika merasakan tubuh Belva yang semakin bergetar di dalam pelukannya.

"Gue gagal Ka." gumam Belva.

Hari ini, adalah hari sidang para pelaku pemerkosaan yang terjadi kepada Mita, mirisnya para pelaku itu hanya di jatuhkan tujuh tahun penjara, satu diantara mereka bahkan bebas karena masih di bawah umur. Sangat tidak adil sekali untuk korban, selucu itu memang hukum di negri ini.

Melawan rasa takutknya, Belva memenuhi kewajibannya sebagai saksi. Tapi dia gagal, dia gagal mendapatkan keadilan untuk Mita.

"Nggak, lo hebat. Lo udah berusaha."

Araka melepaskan pelukan mereka, tangan lelaki itu terangkat menghapus air mata yang keluar dari pelupuk mata Belva. Matanya menatap Belva teduh. "Belva, jangan terlalu menyalahkan diri sendiri. Semuanya diluar kendali lo. Lo udah melakukan yang terbaik."

"Belva." panggil seseorang, Belva berbalik tubuhnya sedikit menegang ketika mendapatkan Airlangga tengah menatap ke arahnya, tatapan Airlangga tegas namun terlihat lembut secara bersamaan.

Lelaki itu mendekat, senyuman tipis terukir diwajahnya. "Boleh ngomong sebentar?" tanya Airlangga.

"Ngomongin apa?" bukan, bukan Belva yang menjawab. Araka lah yang menjawab lelaki itu menatap Airlangga penuh tanya.

"Sesuatu yang nggak perlu lo tau." jawab Airlangga.

"Kenapa gue nggak perlu tau?" tanya Araka.

Airlangga menghela nafasnya. "Ini bukan urusan lo, bukan urusan gue juga, tapi disini gue mau meluruskan sesuatu."

"Ngomong pas ada gue apa susahnya sih?" tanya Araka kembali.

Merasa kesabarannya mulai menipis, Airlangga yang tadinya biasa saja kini menatap Araka dengan tatapan tajamnya. "Lo mau selesain dimana?" tanya Airlangga.

Araka menggeleng, jelas ia tau maksud dari pertanyaan Airlangga. "Gue nggak suka kekerasan."

Airlangga mendengus, tatapannya kembali melunak saat menatap Belva. "Bel, sebentar aja kok, bisa kan?"

"Oke, sebentar."

Airlangga mengangguk lalu melangkahkan kakinya menuju sebuah kursi di bawah pohon yang masih bisa terlihat dari tempat Araka.

Belva mendudukkan badannya dengan kaku, melihat itu Airlangga kembali bangkit dari duduknya. "Sorry kalo lo nggak nyaman, gue berdiri aja."

"Langsung aja, lo mau ngomong apa?" tanya Belva.

"Masalah kemarin waktu Marcelion date-"

"Kalo lo mau kayak Marcelion yang ngehakimin gue, mending nggak usah Air."

"Bukan, bukan begitu. Gue cuma mau minta maaf sama perkataan Marcelion yang mungkin menyinggung lo dan terkesan menghakimi. Sebagai temennya gue minta maaf sedalam-dalamnya." ujar Airlangga. "Dan gue juga mau meluruskan beberapa hal, yang mungkin bisa lo pertimbangkan buat nemuin Skala."

"Udah gue tebak, tujuan lo ujung-ujungnya pasti berkaitan dengan Skala." dengus Belva.

"Maaf." gumam Airlangga. "Kalo boleh tau, apa yang buat lo sebenci ini ke Skala?"

SKALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang