•Skala•
Belva menatap kosong ke arah jendela, bayangan Mita yang di lecehkan didepanya terus saja berputar di otaknya.
Belva memangkup wajahnya, lalu menjerit berusaha menghilangkan bayang-bayang menakutkan itu. Bukannya hilang, bayangan itu semakin jelas berputar di otaknya.
Sudah satu minggu berlalu, Belva sama sekali tidak bisa tertidur setelah kejadian itu. Setiap kali Belva memejamkan mata, Mita akan datang di mimpinya, membuat rasa bersalah Belva semakin dalam.
"Tolong." gumam Belva.
Suara langkah kaki membuat Belva panik, wanita itu menjatuhkan badannya dari kasur ke lantai. Meringkuk ketakutan. Tubuhnya bergetar serta air mata yang sudah mengalir deras.
"Jangan, jangan." gumam Belva lagi.
Bella, Claraya dan Marshella yang baru saja memasuki kamar Belva terkejut melihat wanita itu meringkuk di lantai dengan tubuh bergetar. Melihat keadaan Belva, air mata Claraya langsung terun tanpa bisa dicegah.
Melihat Claraya yang menangis, Marshella pun ikut menangis. Keduanya kini menangis bersamaan.
"Belva sayang, ini Mama." Bella menepuk pungung Belva.
"NGGAK!" jerit Belva.
"Belva.." lirih Marshella, hatinya terasa begitu sakit melihat sahabatnya yang selalu baik-baik saja kini keadaannya seperti itu, begitu menyedihkan.
"Kalian keluar dulu ya? Belva sepertinya belum bisa di temui." kata Bella pada keduanya. Mata wanita itu sudah memerah, jelas sekali bahwa Bella berusaha menahan tangisnya.
Claraya mengangguk, lalu menarik tangan Marshella. Sesampainya di luar kamar, tangis keduanya semakin kencang.
Sedangkan Belva masih meringkuk ketakutan, mulutnya terus mengumamkan kata 'tolong' membuat hati Bella terasa teriris ketika mendengarnya.
Bella mengusap rambut Belva, mencium puncuk kepala anaknya. "Maafin Mama." katanya sambil menangis.
"Andai Mama lebih perhatian sama kamu, maaffin Mama Belva." lanjutnya.
"Kasian, Mita kesakitan." ujar Belva, lalu menjambak rambutnya sendiri. Melihat itu Bella menahan kedua tangan Belva agar tidak menyakiti dirinya sendiri lagi.
Bella tergugu, menatap Belva yang kini terdiam menatap langit-langit kamarnya dengan tatapan kosong.
Jiwa Belva seperti telah di tarik, hanya tersisa raganya saja.
•Skala•
Skala memasuki gedung apartemennya dengan keadaan yang kacau, bebarapa penghuni lain menatapnya aneh. Ada juga yang menatapnya risih.
Keadaan Skala tidak bisa dikatakan baik-baik saja. Kantong mata lelaki itu menghitam dan rambutnya yang acak-acakan tak terurus, bahkan berat badan lelaki itu menurun drastis.
Terdengar konyol, namun memang sebesar itu pengaruh Belva dalam hidupnya.
Selama beberapa hari ini, Skala terus berusaha untuk menemui Belva. Namun, Vadil melarang keras. Skala rasanya ingin membunuh lelaki itu saat itu juga.
Skala kacau, tanpa Belva hidupnya memang sekacau ini.
"Skala!"
Skala menoleh, disana ada Deluna membawa rantang makanan di tangannya.
"Ngapain?" tanya Skala.
KAMU SEDANG MEMBACA
SKALA
Teen FictionSudah terbit, tersedia di Gramedia dan toko buku online. Part lengkap (proses revisi) _______________ Gimana rasanya menjadi kekasih seorang berandal? Tanyakan saja kepada Belva. bukannya merasa menjadi ratu seperti novel-novel yang di bacanya, Belv...