5

425 39 12
                                    

Sebuah motor melaju dengan kecepatan tinggi. Ia beruntung jalan dalam keadaan sepi, meskipun begitu apa yang dilakukannya tetap berbahaya.

"Gue udah bilang, jangan ajarin dia." Tio duduk di salah satu trotoar sambil meneguk minuman bersoda.

Motor itu berhenti tak jauh dari tempat kedua pemuda yang sedari tadi hanya bisa melihat. Deni berdiri lalu mendekati sang pengendara yang masih sibuk dengan helm dikepalanya.

"Skill lo udah mulai meningkat," puji Deni tersenyum miring.

"Maksud lo skill untuk dekat dengan kematian," ejek Tio berdiri mendekati Deni.

"Lo sendiri, nggak mau nyoba?"
Tio menatap sahabatnya tak suka setelah pemuda tampan itu melontarkan pertanyaan.

"Gue nggak mau mati konyol, Alano."

Alano terkekeh, helm yang sedari tadi menutupi kepalanya terbuka, memperlihatkan rambut hitam yang telah berantakan.

Alano turun dari motor sambil mengacak rambutnya, berjalan santai ke arah trotoar lalu meneguk soda yang entah milik siapa.

"Lo lagi ada masalah?" celetuk Tio yang sudah dibuat keheranan dengan sikap Alano akhir-akhir ini.

"Menurut lo?" pancing Deni membuat Tio mendengus kasar.

Alano tersenyum getir lalu meremas kaleng ditangannya. "Gue cuman butuh hiburan."

"Hiburan? Lo cari hiburan atau kematian?"

Deni memutar bola mata jengah, lagipula ini bukan pertama kalinya Alano ugal-ugalan. Anak itu sudah melakukan hal yang sama dalam jangka waktu 3 Minggu setelah Deni mengajarkannya mengendarai motor.

"Santai aja, dia belajar dari yang ahli," tutur Deni sedikit berbangga diri.

"Lagian Gue nggak ikut balapan, Tio."

"Lo emang nggak balapan sama manusia, tapi lo balapan sama malaikat maut!"

Alano merenggangkan otot-ototnya yang mulai pegal, sudah seminggu ia tidak mencoba kebut-kebutan di jalan. Hatinya sangat puas setelah hampir setengah jam mengitari jalan sepi dengan kecepatan diatas rata-rata.

"Lo cuman perlu tutup mulut," tegas Deni diangguki Alano.

Tio berdecak kesal seraya mengacak rambutnya frustasi. "Dasar, muka dua!"

Alano mendekati Tio dengan tatapan kosong, tangan kanannya kini sudah berada di bahu Tio memberikan beberapa kode yang hanya bisa diangguki oleh Tio.

"Gue nggak mau, hal ini sampe bocor. Nggak ada yang boleh tau kalau gue bisa bawa motor, oke." Alano tersenyum manis seraya menepuk pelan wajah Tio.

Tio merasakan itu adalah sebuah ancaman, dengan cepat ia mendorong tubuh Alano menjauh. "Lo berdua yang bohong, gue yang jadi tumbal."

Tangan Alano merogoh sakunya, mengeluarkan beberapa uang kertas berwarna merah lalu menaruhnya diatas motor. "Gue cabut dulu."

Tio berkedip beberapa kali lalu mengambil uang dari atas motor untuk dihitung jumlahnya.

"Buset, satu juta?" Tio kembali menghitung uang yang Alano letakan tadi. Sedangkan pemuda bermata coklat itu hanya berjalan santai menjauhi ke dua sahabatnya.

"Itu namanya investasi," tukas Deni menarik uang tersebut dari tangan Tio.

Deni memisahkan dua lembar uang, lalu memasukan sisanya ke dalam saku. "Ini untuk beli bensin," ujar Deni memperlihatkan dua ratus ribu kehadapan Tio.

"Sisanya untuk persiapan, kalau suatu hari dia kecelakaan."

Mata Tio mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya sadar apa yang baru saja Deni katakan. "Lo berdua beneran punya niat mati muda?"

Secercah DarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang