Alano terus mengetuk-ngetuk ponsel yang ia pegang dengan telunjuk, matanya menatap lurus ke arah depan membiarkan Unang membawanya ke rumah.
"Udah seminggu Den Alano nggak pulang, Tuan pasti seneng."
"Papa dirumah?" tanya Alano datar.
Unang menggeleng. "Kayaknya belum pulang.
"Semenjak Den Alano pergi, suasana rumah jadi berubah," jelas Unang sedikit kecewa dengan kepergian Alano beberapa hari lalu.
"Tuan selalu nanyain Den Alano ke Bapak. Den Alano nggak pengen ketemu sama Tuan?"
"Kalau Papa peduli, dia bakalan nemuin aku langsung ke Sekolah," ketus Alano mulai memainkan ponsel untuk mengirim pesan.
"Kenapa harus pakai ajudan segala?"
"Tuan bilang, supaya Den Alano nggak kabur lagi."
Alano memutar bola mata malas lalu mengirim pesan ke Laras kalau ia akan pulang hari ini.
Suasana menjadi hening sampai akhirnya mobil berhenti di pekarangan rumah. Alano menghembuskan napas kasar, lalu turun dari mobil.
Pekarangan rumah yang cukup luas itu kini diisi sebuah mobil berwarna hitam dan Alano tau itu bukan salah satu mobilnya.
"Pak Bayu. Mobil siapa?" tunjuk Alano ke arah mobil yang terparkir.
"Cepat kerjakan!"
Atensi Alano beralih saat mendengar seseorang berteriak dari dalam rumah. Alano melirik Bayu dan Unang bergiliran.
Setelah mengambil tas, Alano langsung masuk ke rumah.
"Buatkan saya teh!"
Alano berjalan mendekati sumber suara, langkah Alano terhenti saat alasan dirinya pergi dari rumah kini sedang duduk diatas ayunan dekat kolam berenang.
Jemari Alano mengepal kuat. Ada 3 pelayan baru dan itu membuat Alano risih. Apalagi sekarang Sera juga ada disana, wanita itu bahkan tidak sadar kalau Alano sudah tiba di rumah.
Sudut bibir Alano terangkat saat salah satu pelayan membawa teh. Alano segera menjauh dari Sera dan mengambil teh yang dibawa pelayan tanpa rasa bersalah.
"Terima kasih," ujar Alano langsung meminum teh tersebut tanpa bertanya terlebih dahulu.
"Maaf tapi itu untuk Nyonya Sera."
"Nyonya?" ulang Alano ambigu.
"Panggil dia Buk Sera, karena ini bukan rumahnya," tekan Alano lalu meletakkan gelas teh yang sudah ia minum sebagian.
Alano melempar tas dibahunya ke sofa. "Aku akan buat yang baru," ujar Alano berjalan ke arah Dapur.
Alano dapat melihat dengan jelas ada dua pelayan yang kini tengah beres-beres di sekitar Dapur dan meja makan.
"Bik," panggil Alano ke arah Neni yang sedang mencuci piring.
Neni menoleh lalu tersenyum senang mendapati Alano berdiri di dekatnya. "Den Alano. Ini beneran Den Alano?" tanya Neni berusaha mengontrol kebahagiaan yang memuncak.
"Iya, Bik," ujar Alano tersenyum hangat.
"Kalian keluar," titah Alano kepada pelayan yang baru ia temui hari ini.
"Tapi—"
"Ini rumah saya. Jadi turuti apa yang saya katakan," tekan Alano.
Neni tersenyum ke arah dua pelayan yang saat ini menatap Alano binggung. "Ini Den Alano, anaknya Tuan Antonio. Kalian turuti kata dia ya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Secercah Darah
TeenfikceTampan, kaya, cerdas. Sempurna. Kata orang, Alano itu sempurna. Padahal semua orang tau, tidak ada manusia yang sempurna. Sebuah alasan membuat Alano HARUS meraih peringkat satu paralel. Dengan kata lain, ia harus menyingkirkan sahabatnya sendiri d...