Antonio berlari keluar mobil lalu membuka pintu belakang. Pria itu langsung mengangkat tubuh putranya yang sudah pucat serta dingin.
"Sus, cepat ambil brankar. Siapin IGD sekarang," titah Aleta karena rumah sakit itu adalah tempatnya bekerja.
Tidak perlu waktu lama, beberapa suster langsung datang membawa brankar. Tubuh Alano langsung dibaringkan, Suster mendorong brankar itu menuju IGD diikuti Aleta dan Antonio.
"Aku akan pergi sangat jauh dan itu karena keinginanku sendiri."
Suara Alano kembali terngiang-ngiang ditelinga Antonio, pria itu menatap wajah anaknya sendu. "Jangan, Al. Jangan pergi."
Alano dibawa masuk kedalam IGD bersama dengan Aleta, sedangkan Antonio harus menunggu di luar sesuai prosedur.
Kini semua rasa berkecamuk dihatinya, suara Alano kembali terngiang-ngiang memberikan rasa sesak yang semakin menekan batin Antonio.
"Apa aku harus terluka dulu, baru Papa peduli?"
"Aku selalu salah di mata Papa."
"Mama Papa sama aja!"
"Kenapa kalian biarin aku hidup!"
"Di mata Papa aku ini apa? cuman alat balas dendam?"
"UDAH MATI! Dia mati ditanganmu!"
"Aku nggak butuh Papa!"
Antonio bergetar hebat, pria itu langsung memukul dinding dihadapannya. "Bodoh! Dasar bodoh!" maki Antonio pada dirinya sendiri.
Suara derap kaki terdengar mendekat, seorang pemuda langsung menahan tubuh Antonio yang terus memukul dinding. "Om, udah."
"Alano," isak Antonio terdengar menyakitkan. Tio menoleh ke arah Nara dan Bunga, kedua gadis itu tiba-tiba memelankan langkahnya saat Antonio menyebut nama Alano.
Saat diperjalanan, tanpa sengaja mereka melihat mobil Antonio. Nara yang tadinya ingin pergi sendiri mau tak mau harus menerima kehadiran Bunga dan Tio yang terus membuntuti dirinya.
"Alano kenapa?" tanya Nara dengan nada bergetar.
Nara langsung mendekati Antonio dengan perasaan kalut. "Alano kenapa?"
"Om jawab," pinta Nara semakin takut melihat Antonio sangat kacau.
"Racun."
Dahi Nara mengerut tak mengerti.
"Racun? Maksudnya apa Om?" tanya Tio masih menahan tubuh Antonio agar tidak ambruk.
"Alano." Antonio berusaha menarik napas. "Dia mau bunuh diri."
Nara mundur beberapa langkah dengan tatapan kosong sampai akhirnya terbentur di dinding.
"Dia minum racun itu."
Tubuh Nara luruh, air matanya seketika runtuh. Seluruh tubuhnya gemetar ketakutan. "Lagi?" Rasa sesal kembali menjerat, air mata kini tak lagi berarti. Seharusnya ia tidak membiarkan Alano pergi sendiri, seharusnya ia tau ini akan kembali terjadi.
Bunga mendekati Nara berusaha agar membuat temannya itu tenang. "Nara."
"Jangan sentuh gue!" bentak Nara tidak suka saat Bunga ingin memeluk dirinya.
Nara menekuk lutut lalu membenamkan wajahnya disana.
"Sakit banget ya?"
"Iya."
"Lo masih bisa tahan?"
"Mungkin."
Ingatan tentang Alano kini mulai membayangi Nara. Ia tau kalau sakit yang Alano maksud waktu itu bukan bekas infus, tapi hatinya yang sejak lama mulai hancur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secercah Darah
Teen FictionTampan, kaya, cerdas. Sempurna. Kata orang, Alano itu sempurna. Padahal semua orang tau, tidak ada manusia yang sempurna. Sebuah alasan membuat Alano HARUS meraih peringkat satu paralel. Dengan kata lain, ia harus menyingkirkan sahabatnya sendiri d...