Nara mempercepat langkahnya, gadis itu bertekad kuat untuk memberi pelajaran kepada pemuda yang selalu saja membuat kekesalannya memuncak.
"Alano!" pekik Nara melihat pemuda yang sedari tadi ia cari tengah duduk bersandar dibawah pohon rindang, tepatnya di Taman belakang.
Alano membuka topi yang menutupi wajahnya lalu melirik Nara malas.
"Pergi!" usir Alano kembali menutupi wajahnya dengan topi, berharap bisa menikmati kesunyian yang disuguhkan siang ini.
Nara berdecak pelan lalu berlari ke arah Alano kemudian berhenti tepat dihadapan pemuda yang akhir-akhir ini menjadi lebih menyebalkan.
"Makan," ujar Nara menyodorkan sebungkus makanan.
"Makan sekarang," pinta Nara menarik topi yang menutupi wajah Alano.
Mata Alano terbuka, ia lantas mengganguk lalu mengambil makanan tersebut dari tangan Nara.
"Udah. Pergi," usir Alano lagi, ia menerima makanan dari Nara hanya agar gadis itu cepat-cepat pergi dari hadapannya.
Nara tidak menggubris ucapan Alano, gadis itu justru meneliti setiap luka yang tampak di Indra penglihatannya.
"Lo kenapa?" tanya Nara duduk bersimpuh di hadapan Alano.
Alano diam lalu kembali memejamkan mata.
Tangan Nara tergerak untuk menyentuh dahi Alano. Mata Alano seketika terbuka saat ada yang menyentuh lukanya.
"Apaan sih," tepis Alano kasar.
Alano berdiri lalu meninggalkan Nara yang berhasil menggangu ketenangan yang akhir-akhir ini selalu coba ia nikmati.
Nara ikut berdiri sambil meraih makanan yang Alano tinggalkan.
Nara melangkah lebih besar lalu menghadang Alano yang kini menatapnya datar. "Makan dulu."
"Gue nggak laper."
"Alano. Kalau maag lo kumat lagi, entar bisa kronis. Lo bisa masuk rumah sakit."
"Biarin aja. Seenggaknya gue bisa nyoba muntah darah," sambung Alano tersenyum miring.
Alano maju beberapa langkah membuat dirinya dekat dengan telinga Nara.
"Kalaupun gue mati itu bukan urusan lo," tekan Alano berjalan meninggalkan Nara.
"Kalo lo mati, gue yang paling nggak terima akan hal itu!" pekik Nara melihat punggung Alano yang mulai menjauh.
Hari ini tidak ada aktivitas mengajar karena semua orang tengah sibuk mempersiapkan ujian, Alano datang ke sekolah karena ingin menjauhkan diri dari Laras yang overprotektif tentang dirinya sejak semalam.
Sebuah mobil masuk ke halaman sekolah membuat semua atensi siswa teralihkan begitu saja. Alano melirik sekilas ke arah kerumunan lalu tetap berjalan menuju kelas yang berlokasi di lantai 2.
Alano tersenyum tipis karena bully yang ia terima cukup berguna untuk situasi seperti ini. Tidak ada yang mau mendekatinya, maka ia tidak perlu repot mengotori tangannya untuk membantu membersihkan area sekolah kali ini.
"Tumben Pak Toni datang ke Sekolah, ada apa ya?"
Langkah Alano terhenti. "Papa?" batin Alano berbalik melihat kerumunan siswa yang meneliti kedatangan Papanya.
Bukan berlebihan, tapi memang Antonio tidak pernah terlihat di hadapan siswa SMA Andala. Bahkan, saat acara yang menuntut kehadiran orang tua, Antonio tidak pernah datang mendampingi Alano.
Alano mengambil benda pipih dalam sakunya sambil terus berjalan ke lantai dua.
Tepat ketika tombol terakhir di tekan, ponsel Antonio berbunyi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secercah Darah
Teen FictionTampan, kaya, cerdas. Sempurna. Kata orang, Alano itu sempurna. Padahal semua orang tau, tidak ada manusia yang sempurna. Sebuah alasan membuat Alano HARUS meraih peringkat satu paralel. Dengan kata lain, ia harus menyingkirkan sahabatnya sendiri d...