4

574 48 17
                                    

"Papa."

"Kenapa?" Antonio berjalan ke arah anak kecil yang sedari tadi berdiam diri di ayunan.

Alano menunduk, merasakan sesak dengan binar air mata yang semakin kalut.

"Alano nakal ya?"

Antonio berjongkok menyetarakan tinggi dengan putra kecilnya. "Enggak kok, Alano itu anak yang baik."

"Terus, kenapa Alano enggak punya Mama?"

Alano, bocah kecil itu berhasil meruntuhkan pertahanan Antonio dalam sesaat.

Perlahan air mata Antonio luruh, pria itu hanya bisa memberikan senyuman walau bahkan Alano tau kalau itu bukan senyuman tulus "Karena Alano itu spesial, Alano punya orang tua yang lengkap yaitu Papa. Papa bakalan jadi Ayah sekaligus Ibu buat kamu."

"Tapi Papa bukan Mama. Memangnya Mama kemana?"

Antonio mengigit bibir bawahnya, berusaha untuk menahan segala kepedihan dihadapan Alano yang selalu bertanya dimana sosok sang Mama.

"Mama udah pergi jauh, sayang," jelas Antonio mengelus lembut wajah Alano.

"Sangat jauh?"

"Iya, jauh. Dia meninggalkan kita dan pergi terlampau jauh," tutur Antonio menarik tubuh Alano kedalam pelukannya.

"Janji sama Papa, jangan pernah nanya hal ini lagi. Oke?"

"Iya," ujar Alano setuju sambil memeluk erat tubuh Antonio.

"Papa bakalan jadi orang tua yang terbaik untuk kamu," bisik Antonio dibalas senyuman manis dari bibir kecil Alano.

"Alano janji, bakalan nurutin semua kata Papa."

***

Kedua mata Alano perlahan terbuka, pikirannya kembali kosong setelah mengingat kejadian saat ia kecil, saat dimana ia selalu bertanya siapa wanita yang telah melahirkannya. Ia merasa bodoh karena dulu tidak mengerti arti sebuah janji yang dulu pernah ia ucapkan begitu saja.

Jemari Alano meremas kertas demi kertas ulangan bernilai A lalu melemparkannya kedalam tong sampah.

"Nilai lo A dan lo masih belum puas?" decak Deni memundurkan tubuhnya ke dinding.

"Hampir enggak mungkin dapat A+ dalam ulangan kimia, oke Alano," cicit Tio realistis.

"Hampir. Bukan berarti enggak mungkin." Alano mulai mengeluarkan beberapa buku tebal dari dalam lacinya membuat kedua pemuda itu terperangah.

Deni berdiri menggeser kursi, jemarinya dengan cepat membalas pesan singkat yang ada dilayar ponsel.

"Cabut yok, udah ditungguin," ajak Deni memasukan ponsel kedalam saku.

Alano tidak menggubris hal itu, ia justru kini tengah fokus dengan halaman kosong yang siap diisi dengan berbagai macam angka.

"Alano yang cakep, kali ini aja ya gue mohon. Mending sekarang kita ke Kantin, datengin tuh para cewek yang udah nungguin kita. Gue mohon," ajak Tio berusaha membuat Alano keluar dari kelas, ia tidak mau mengambil resiko karena membiarkan Alano didalam kelas dengan keadaan perut kosong.

"Enggak," tolak Alano mentah-mentah sambil memutar bolpoin di jarinya.

"Gue bisa mati Alano. Lo beli apa kek di kantin, biar perut lo terisi."

"Inara pasti marah kalo lo nggak ikut," tegas Deni membantu Tio.

Mereka masih ingat saat Alano meringis kesakitan kemarin, hal itu bukan hanya membuat semua orang panik tetapi juga menjadi bencana bagi Deni dan Tio. Bagaimana tidak? 3 orang gadis menceramahi mereka habis-habisan karena maag Alano kambuh dan mereka tidak tau akan hal itu.

Secercah DarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang