49

449 41 16
                                    

Anesha berdecak kesal, hentakan kakinya terdengar nyaring menyusuri koridor. Sial, niatnya meminta pembelaan malah berbalik menjadi Boomerang.

Ya, Antonio tidak sepenuhnya membela. Pria itu juga mencari tau lebih dalam tentang masalah ini, termasuk kenapa Anesha melempar kuah kepada Bimo dan Erwin.

"Useless," umpat Anesha kesal. Bisa-bisanya ia harus meminta maaf kepada Erwin dan Bimo, walaupun Bimo juga meminta maaf padanya tapi bukan ini yang Anesha inginkan.

Tapi apa boleh buat, jika Anesha tidak meminta maaf maka dia dan Bimo sama-sama harus menerima hukuman.

Anesha mempercepat langkahnya saat di parkiran, memilih untuk memendam kekesalannya sendiri untuk kali ini.

"Papa tau kamu akting."

Langkah Anesha terhenti, menghela napas kesal lalu berbalik. Mati-matian Anesha berusaha menahan seluruh rasa kesal yang kini mendominasi. Jika saja pria itu bukan Papanya, jika saja darah yang mengalir dalam tubuhnya itu bukan berasal dari Antonio, mungkin sudah lama ia mencari cara agar bisa menghancurkan pria itu dari muka bumi.

Antonio berjalan mendekat, tangannya dimasukkan kedalam saku sambil memberi Anesha tatapan interogasi.

"Kenapa kamu lakuin itu?"

Anesha hanya balik menatap Antonio, memberi jawaban dengan raut wajahnya yang seolah mengatakan 'Tolong, jangan banyak bertanya'.

"Lain kali jangan gitu."

Alis Anesha terangkat sebelah, ia mulai tidak menyukai situasi ini. "So? Anyone asked for your opinion?"

"Anesha," ucap Antonio terdengar seperti peringatan.

Antonio tau, ia bisa melihat dengan jelas kalau Anesha berkelit terus menerus saat didalam tadi walaupun putrinya memang sangat pintar dalam memainkan kata-kata, tapi Antonio tau Anesha berusaha menjatuhkan lawan serendah mungkin dan hal itulah yang menjadi alasan Antonio tidak terlalu membelanya.

Antonio sedikit mencondongkan tubuhnya kearah Anesha. "Jangan kelewatan, Anesha. Papa nggak suka sikap kamu yang seperti ini."

Anesha terkekeh lalu memberi tatapan tak suka pada Antonio. "Apapun yang aku lakukan, itu nggak harus atas persetujuan anda."

"Papa," tekan Antonio menunjuk Anesha dengan jari telunjuknya. "Panggil, Papa."

Anesha berdecak. "Males."

"Tapi tadi kamu manggil Papa pas di dalam," ujar Antonio mengingatkan.

Anesha memiringkan kepalanya ke kanan sebelum akhirnya kekehan kecil kembali keluar. "Jaga image aja."

Antonio pasrah. "Saya akan tunggu sampai kamu siap, manggil saya dengan sebutan Papa."

Anesha semakin dibuat keheranan, ia justru menyunggingkan senyum miring ke arah Antonio. "Ngarep Pak? Bukannya aku dulu nggak dianggap ya?"

Antonio melirik sekitar, parkiran memang tampak sepi karena kebanyakan siswa sudah pulang. Namun, masih ada beberapa orang disana, hendak mengeluarkan kendaraan mereka dan mungkin mendengarkan pembicaraan Ayah dan anak itu. "Jaga sikap kamu kalau di depan umum," bisik Antonio pelan.

"Oh really?" Anesha terdiam beberapa saat sampai akhirnya satu sudut bibirnya terangkat, lagi. "Harus banget ya? Jaga image anda?" tekan Anesha diujung kalimat.

"Anesha, kamu itu anak saya. Darah saya mengalir dalam tubuh kamu. Jadi tolong bersikap sedikit sopan walau cuman kamu lakuin didepan umum."

"Ya karena darah aku sama kayak anda, makanya kelakuan aku sekarang kayak gini, mungkin karena keturunan iblis kali ya."

Secercah DarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang