"Alano."
Alano menggangkat wajahnya dari atas meja. Setidaknya butuh waktu 15 menit untuk Disa mengumpulkan keberanian, dan selama itu pula Alano mencari kesempatan untuk memejamkan mata sejenak.
Wajah Alano terlihat sayu khas orang bangun tidur, anak itu benar-benar tidur selama 15 menit.
"Makasih ya," ujar Disa sambil menunduk tak berani menatap wajah Alano.
"Untuk semuanya, untuk biaya rumah sakit yang keluarga lo kasih, makasih juga udah bantuin gue sampai sekarang."
Alano melirik Disa sekilas, ia sudah bisa melihat kalau gadis itu sedang tidak tenang. Kakinya tergerak naik dan turun serta keringat dingin yang berkali-kali ia bersihkan di celana.
"Lo orang baik, Al. Baik banget malah," ucap Disa membasahi bibirnya yang terasa kering.
Alano mendorong gelas bening berisi air ke arah Disa dengan sorot malas. "Minum."
Disa menegakkan wajahnya lalu menggeleng. "Enggak perlu. Itu buat lo, lo harus minum obat, tadi Tante Laras udah pesen itu kan," tolak Disa melirik obat-obatan yang ada disebelah Alano.
Sebelumnya Alano sudah mendengarkan permintaan maaf dari Rina, Ibu dari Disa itu kini sedang ada didalam bersama Nara dan juga Laras. Sekarang, semua orang justru membuatnya berhadapan dengan Disa dan hal itu sejujurnya membuat Alano tak nyaman.
Alano berdecak pelan. Mengambil obat-obatan diatas meja lalu menelannya tanpa bantuan air.
Tubuh Disa menegang melihat Alano meminum obat sebanyak itu tanpa bantuan air.
"Enggak pahit?" tanya Disa spontan.
"Lo peduli?" tanya Alano sinis.
Disa menggigit bibir bawahnya, mengalihkan perhatian dari rasa bersalah yang mulai menyerang. "Maaf ya, Al."
Alano mendengus sebal lalu menyandarkan punggungnya di penyangga kursi sambil melihat ke samping tepat kearah pembatas yang dipenuhi dengan pot bunga. "Tebus dosa," tekan Alano tidak ingin menatap Disa. "Gue lakuin ini buat tebus dosa gue, yang udah buat lo jatuh."
Disa menggeleng, merasa tidak enak hati saat Alano mengatakan hal itu. "Lo nggak sengaja."
Alano terkekeh disusul senyum getir. "Tapi lo komanya lama," bantah Alano tidak sedikitpun menoleh.
Disa semakin menunduk. Entah kenapa, semakin banyak Alano menjawab semakin besar rasa bersalah yang ia rasakan. "Maaf, Al. Itu di luar kendali gue," lirih Disa sambil terus menggosok tangannya yang telah dingin dibasahi keringat.
Alano kembali mendorong gelas ke Disa. "Minum. Habisin."
Disa mengganguk ragu, lalu meneguk air sampai setengah gelas.
Alano menghela napas berat, ia bahkan tidak mengerti dengan perasaannya saat ini. Awalanya ia pikir, jika ia tidak peduli dengan semua yang terjadi, maka dirinya akan baik-baik saja. Ternyata, saat semuanya sudah tidak bisa di kontrol lagi, perasaan sakit yang selama ini tidak ia pedulikan justru memberi luka paling parah.
"Gue yang harusnya minta maaf. Karena nggak menuhin janji untuk habisin pelakunya. Seharusnya gue bunuh aja, nggak usah masukin ke kantor polisi," jawab Alano tanpa dosa, ia seolah merasa hampa dan tidak memikirkan perasaan lawan bicaranya lagi.
Disa menunduk dalam, bibirnya terasa keluh. "Gue masih takut."
"Lo emang penakut, dari dulu."
Disa tersentak, gadis itu dibuat bungkam oleh jawaban yang Alano lontarkan.
Suasana seketika menjadi hening. Baik Alano maupun Disa sama-sama diam.
Alano merasa ada yang aneh, kepalanya terasa sakit. Ia memang sering sakit kepala bahkan semenjak di rawat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secercah Darah
Teen FictionTampan, kaya, cerdas. Sempurna. Kata orang, Alano itu sempurna. Padahal semua orang tau, tidak ada manusia yang sempurna. Sebuah alasan membuat Alano HARUS meraih peringkat satu paralel. Dengan kata lain, ia harus menyingkirkan sahabatnya sendiri d...