Setiap malam terasa seperti nelangsa bagi Antonio. Kehilangan kini terus saja menghantui dirinya, menciptakan rasa sesal yang teramat dalam dan memberi sesak yang teramat menyakitkan.
Antonio terbangun dari mimpi singkatnya, matanya masih memerah setelah menangis semalaman. Pakaian yang ia peluk pun ikut basah oleh air mata. Dinginnya lantai sudah mulai menjadi teman akrabnya selama beberapa bulan terakhir. Sepi dan kosong bukan hal baru yang coba ia nikmati.
Antonio masih terdiam di tepi kasur, memikirkan semua kesalahannya saja sudah membuat dirinya merasa hancur. Perlahan ia mulai mengerti, seberapa hancur orang-orang yang dulu pernah ia sakiti. Ia tau, ia salah. Ia tau kalau permintaan maafnya tidak mudah untuk diterima.
Namun Antonio tidak tau, apakah ia harus berterima kasih kepada adiknya atau justru kecewa. Di satu sisi, Laras memang selalu menjadi orang pertama yang menemani Alano, itu sebabnya Alano sangat menyayangi Laras bahkan lebih dari orang tuanya. Tapi disisi lain, Laras pula yang membawa Alano pergi dan memberi luka paling pedih baginya, Laras membawa Alano bahkan tanpa bertanya ataupun pamit.
Sungguh, hatinya sudah sangat perih setiap hari. Selama beberapa bulan terakhir ia selalu merasa hampa, bahkan sangat hampa hingga tidak mengerti harus melakukan apa.
Kaos berwarna hitam itu akhirnya Antonio angkat sambil tersenyum pedih. "Papa kangen kamu, Al. Papa selalu berharap kamu baik-baik aja."
Antonio kembali memeluk kaos milik putranya. Air matanya kembali luruh, seluruh rasa sakit itu kembali menjalar. Seandainya waktu bisa diputar, Antonio berjanji tidak akan membuat anak-anaknya kecewa.
Jika saja dulu dirinya lebih bijaksana, mungkin hari ini ia akan mendengar panggilan Papa dari kedua anaknya setiap hari.
Tubuh Antonio bergetar, ia sesekali menyeka air mata di sudut matanya. Kamar Alano selalu bisa menjadi tempat dirinya melepas kerinduan yang amat mendalam.
Tangan pria itu mengerat memeluk kaos milik Alano. Ia menyayangi Alano lebih dari apapun, tapi ia juga yang menyakiti Alano lebih dari siapapun.
Antonio hanya bisa berharap satu hal, walaupun ia tau itu akan sulit didapatkan.
"Papa mohon, maafin Papa sayang."
****
Bunyi pantulan disertai tawa kini masuk kedalam lapangan. Terdengar bunyi bola basket beberapa kali di pantulan ke lantai, derap langkah ikut menyertai.
"Ngapain lo semua ada disini?"
Tio langsung menangkap bola yang ia pantulkan, alisnya bertaut heran menatap beberapa orang berpakaian basket sudah dipenuhi keringat.
"Lah, lu sendiri ngapain disini?"
"Kebalik," balas Tio masih heran. "Lo semua kenapa disini? Ini lapangan tempat kami latihan."
"Tapi sekarang lo semua nggak berhak latihan disini!" tegas Dean selaku kapten tim Basket lawan.
Tio maju paling depan, menatap tim Dean remeh. "Heh atas dasar apa lo semua bisa ngomong kayak gitu? Duit jajan lo aja nggak sanggup sewa lapangan ini. Gue udah bayar!"
"Gue nggak terima duit lo!"
Dahi Tio mengernyit heran, ia langsung berbalik. Bersamaan dengan itu, atensi semua orang teralihkan ke gadis yang membawa sekantong uang.
Hoodie putih dengan celana hitam beserta sepatu berwarna biru pink memberikan kesan manis dari penampilannya. Rambutnya tergerai, dengan satu tangan masuk kedalam saku Hoodie.
"Anesha?"
"Noh duit lo!" ketus Anesha melempar amplop coklat ke arah Tio. Pemuda itu terkesiap, menatap Anesha heran saat melihat gadis itu berdiri ditengah tim lawan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secercah Darah
Teen FictionTampan, kaya, cerdas. Sempurna. Kata orang, Alano itu sempurna. Padahal semua orang tau, tidak ada manusia yang sempurna. Sebuah alasan membuat Alano HARUS meraih peringkat satu paralel. Dengan kata lain, ia harus menyingkirkan sahabatnya sendiri d...