Dingin menusuk, detik jam di dinding berbunyi, suasana tegang masih menghampiri. Semua orang terdiam, tidak ada satupun yang berbicara, hanya menunggu kepastian. Berbagai kemungkinan bisa terjadi, berbagai ketakutan masih ada sampai detik ini.
Anesha mengangkat wajahnya seperkian detik, melihat kearah Aleta yang duduk murung disampingnya, menatap Antonio yang kini merangkul adiknya sambil mengelus bahu Laras berkali-kali.
Ketika semuanya sedang tidak baik-baik saja, kenapa dunia rasanya berjalan sangat lambat, kenapa semuanya terasa menyiksa secara perlahan.
Anesha terjengit, ia melirik kearah pria yang memberinya jas. Antonio mengelus rambut Anesha lembut lalu kembali mendekati Laras dan merangkul adiknya hangat.
"Papa emang tegas, tapi sebenarnya dia penyayang."
Dimana letak sosok yang terlihat tegas itu? Menghilang, Antonio yang ada dihadapannya justru hanya seorang Ayah yang sedang mengkhawatirkan anaknya.
"Ada masa dimana gue liat Papa hanya sebagai Papa. Bukan sosok pengusaha, bukan juga sosok penuh dendam. Hanya seorang pria dewasa yang punya anak, hanya sebagai Ayah."
Anesha menunduk, hatinya berdesir sakit mengingat hal itu. "Lo bener, Al. Papa nggak seburuk yang gue kira."
Rasanya waktu berjalan begitu lambat, kapan dokter itu akan keluar? Kapan dia akan mengatakan semuanya baik-baik saja? Tapi apa itu mungkin?
Pintu terbuka, Aleta langsung berdiri sedangkan Antonio dan Laras segera mendekati Dokter yang sejak tadi mereka tunggu.
Anesha masih duduk, takut jika apa yang akan diucapkan tidak sesuai ekspektasi.
"Gimana, Dok?" Suara Antonio mewakili semua pertanyaan dibenak semua orang, Anesha meremat kuat jas yang ia kenakan.
Senyuman di wajah Dokter muda itu merekah. "Bapak nggak perlu cemas, Kondisi Alano stabil."
Helaan dan rasa syukur terdengar, Anesha memundurkan tubuhnya kedinding sembari menghela napas lega. Dokter menyampaikan kondisi Alano secara detail, Anesha hanya termenung sejenak sekedar menarik napas lega.
Untuk beberapa saat keluarganya kini mulai disibukkan dengan beberapa hal. Antonio segera meninggalkan semua orang untuk mengurus administrasi, sedangkan Aleta kini bersandar di dinding sambil sesekali melirik kedalam IGD.
Aleta tersentak, merasakan tangannya diraih seseorang Tatapan mereka saling bertemu sebelum akhirnya Laras melepaskan tangan Aleta sambil menunduk dan menyatukan kedua tangan.
"Maaf."
Aleta tertegun. Laras menunduk, air matanya berakhir luruh. Aleta mengenal Laras dengan baik, ia tau seperti apa wanita dihadapannya ini. Setiap yang Laras katakan, setiap yang Laras lakukan itu selalu berasal dari hatinya. Laras adalah sosok yang tulus.
"Maaf Aleta."
Anesha mengangkat wajahnya, menatap dua orang itu lamat. Jika benar mereka dahulu sahabat, maka mungkin salah paham ini membuat semuanya berantakan.
Aleta menggeleng, meraih tangan Laras agar tidak merendah dihadapannya.
"Maaf karena udah nuduh kamu, maaf karena percaya semua fitnah itu. Mas Toni udah cerita di mobil, maaf Aleta, maaf."
Aleta menarik tubuh Laras lalu memeluknya erat. Pelukan yang selama ini mereka hindari kini tercipta.
"Nggakpapa, La."
Laras membenamkan wajahnya dibahu Aleta dengan air mata yang kini mulai keluar deras.
"Semuanya udah berakhir. Lupain aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Secercah Darah
Teen FictionTampan, kaya, cerdas. Sempurna. Kata orang, Alano itu sempurna. Padahal semua orang tau, tidak ada manusia yang sempurna. Sebuah alasan membuat Alano HARUS meraih peringkat satu paralel. Dengan kata lain, ia harus menyingkirkan sahabatnya sendiri d...