Hari sudah gelap, matahari sudah tenggelam sekitar satu jam lalu. Kelima remaja didalam mobil kini sibuk menoleh kesana kemari, mencari arah yang benar untuk mereka lewati.
Dava memukul stir keras, emosinya memuncak sambil terus menjalan mobil entah kemana. "Al berhenti dimana? Dia kemana?"
Eja melirik sekeliling sambil menggenggam ponsel erat. Sedangkan tiga orang dibelakang juga ikut pusing tak karuan. Disa menunduk, sejak tadi ia terus berdoa dalam ketakutan.
"Lo kenapa suka banget nekat sih, Al?" batin Tio cemas, memundurkan tubuhnya sembari meraup wajah gusar.
Bunga meremat kedua tangannya kuat, sambil terus menatap kearah depan.
"Anesha?"
Semua orang seketika dibuat tegap saat mendengar suara Bunga. Eja langsung menepuk bahu Dava untuk berhenti ketika sorot mobil menangkap dua orang didepan sedang bertengkar.
"Stop, stop. Kita turun," ucap Eja membuat Dava menghentikan mobil. Eja langsung membuka pintu diikuti yang lain.
Disa terdiam di tempat, tangannya mengepal lalu menarik lengan Bunga yang hendak keluar. "Bunga."
"Disa?" Sorot mata Disa terlihat ketakutan, Bunga menoleh ke depan lalu menyadari siapa yang sedang bersama Anesha. "Lo tunggu sini ya, lo nggak perlu turun."
Disa mengangguk lalu menunduk sambil memejamkan mata dan menutup kedua telinga.
Bunga menggenggam tangan Disa sebentar. "Gakpapa gue tinggal?"
"Iya," angguk Disa masih menutup mata.
"Bentar ya, Sa." Bunga buru-buru turun mengikuti yang lain.
"Gue gak mau pulang! Gue mau Alano!" pekik Anesha masih memukul dada Deni yang terdiam di tempat. Ia bahkan tidak menyadari kalau kakinya sedang terluka akibat tergores saat jatuh dari tembok.
"Anesha!" panggil Bunga berlari lebih cepat.
"Kak Anesha!" Dava segera berlari sambil membuka jaket yang ia kenakan.
"Lo!" Tio langsung mendorong tubuh Deni menjauh sedangkan Bunga menarik Anesha kedalam pelukannya dengan Dava yang mengenakan jaket ke tubuh gadis itu.
"Lo ngapain disini Den?" Tio melirik Anesha yang menangis sesenggukan. "Lo apain Anesha!" gertak Tio menarik baju Deni kasar.
Deni segera menepis tangan Tio dari kerahnya. "Gue nggak apa-apa'in dia."
"Terus kenapa dia nangis!"
"Kak, kaki Kakak berdarah," ucap Dava cemas. Bunga buru-buru mengalungkan lengan Anesha di bahunya, membantu gadis itu berdiri tanpa merasa kesakitan.
Eja melihat sekeliling, kecemasannya belum hilang. "Al mana? Alano dimana?" Eja bertanya, semua orang dibuat tersadar kalau pemuda yang disebutkan tidak ada disana.
"Bunga." Anesha akhirnya buka suara, matanya menatap Bunga penuh harap. "Adik gue pasti selamatkan? Alano nggak akan kenapa-napa kan Bunga?" tanya Anesha membuat semua orang menatapnya penuh tanya.
"Deni bilang kalau kami sempet ketangkep Tantenya lagi, pasti disiksa habis-habisan. Itu nggak bener'kan?"
Semua orang langsung menyorot ke arah Deni dengan berbagai sudut pandang.
Tio menatap Deni nyalang, untuk kesekian kalinya ia dibuat mengerang menahan amarah saat melihat wajah Deni. "Alano mana? Alano dimana Deni!" Tio dibuat kalang kabut, ia langsung menyudutkan Deni dengan berbagai pertanyaan.
"Deni, Alano dimana!"
"Dia ketangkep!"
"Brengsek! Terus dibiarin gitu aja!" Eja segera mengambil ancang-ancang untuk memukul Deni tapi Dava terlebih dahulu menahan lengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secercah Darah
Teen FictionTampan, kaya, cerdas. Sempurna. Kata orang, Alano itu sempurna. Padahal semua orang tau, tidak ada manusia yang sempurna. Sebuah alasan membuat Alano HARUS meraih peringkat satu paralel. Dengan kata lain, ia harus menyingkirkan sahabatnya sendiri d...