Bisikan serta hinaan kini terdengar, Alano memilih diam sambil terus menyusuri koridor."Dia masih ada nyali buat sekolah?"
"Nggak tau malu!"
"Wah nekat juga nih bocah."
"Pembunuh nggak layak ada di sini."
"Parah, dia bebas gitu aja?"
Alano mempercepat langkahnya, membiarkan kata tidak pantas satu-persatu tersemat untuk dirinya.
Langkah Alano terhenti tepat di depan pintu, matanya menatap intens ke arah kedua siswa yang sedang duduk diam di salah satu sudut ruangan.
"Masih ada nyali ternyata," cicit Deni jijik.
Tio memutar bola mata malas. "Lo jangan lupa! Dia anak sultan, mudah bagi dia untuk lepas dari tanggung jawab!" Pemuda itu menghembuskan napas kasar, menunduk sambil melihat ujung sepatu yang kemarin ia bersihkan dari sisa darah. "Bahkan walaupun udah dia habisi nyawa orang."
Semua orang kini menatap Alano tak senang, tentu saja kejadian 2 hari lalu sudah tersebar luas. Dan tentunya, bukan perkara sulit untuk Alano lepas dari hukum, Laras sudah membereskan hal itu terlebih dahulu. Mengancam pihak sekolah agar tutup mulut, tidak boleh ada satupun berita tentang hal ini tersiar dimanapun.
"Cih." Tio membuang muka, Deni berdiri dan mengambil tas yang bertengger di sebelah meja Alano.
"Tio, mulai sekarang gue duduk disamping lo," tukas Deni menaruh tasnya sedikit keras.
Alano dapat merasakan hawa tak enak dari dalam kelasnya, kaki Alano melangkah masuk dengan tatapan tenang.
Lagi-lagi Alano tersenyum miris, mejanya ternyata sudah berhiaskan kalimat kotor dan menjijikkan. Alano tidak peduli, disini dia ingin belajar dan itu yang akan dia lakukan.
Semuanya berubah dalam waktu sekejap, orang-orang mengacuhkan Alano begitu saja.
Alano mengedarkan pandangannya ke seisi kelas, bibirnya menyunggingkan senyum miring membuat beberapa temannya ketakutan.
"Kamu benar, Papa"
***
Hantaman keras terdengar. Pintu dibuka sangat kasar.Alano mendongakkan kepalanya, beberapa orang siswa datang disaat ia sendirian di kelas.
"Punya nyali berapa lo, ha!" Erwin selaku ketua geng duduk diatas meja dengan wajah merah padam.
"Lo udah buat Disa koma!"
"Dan ternyata lo masih bisa datang ke Sekolah? Otak lo dipake dimana?" tukas Bimo menunjuk-nunjuk kepala Alano.
Alano tersenyum tipis, memundurkan tubuhnya ke dinding, berusaha untuk sekedar mendengar ocehan geng yang saat ini berani keroyokan.
Erwin naik pitam melihat Alano dengan tidak tau malu datang dan merespond amarah semua orang santai.
"Dasar!" gertak Erwin menarik tubuh Alano.
Satu pukulan mendarat di wajah Alano. Menarik lalu mendorong tubuh Alano kasar.
Tubuh Alano terhuyung membentur meja, bibirnya sedikit berdarah karena pukulan yang Erwin layangkan.
"Cih, Lo itu sebenarnya siapa sih? Kenapa pihak sekolah mau-mau aja nutup kasus ini?" gertak Erwin tak tertahan. Baginya, sekolah ini sudah cukup gila karena membiarkan kriminal berkeliaran.
"Gue yakin lo itu cuman anak manja! Kalau bukan karena uang orang tua lo, gua yakin lo udah masuk penjara!"
Alano terkekeh sambil mengelap darah di bibirnya. "Kenapa?" tanya Alano berdiri sambil mengangkat alis sebelah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secercah Darah
Teen FictionTampan, kaya, cerdas. Sempurna. Kata orang, Alano itu sempurna. Padahal semua orang tau, tidak ada manusia yang sempurna. Sebuah alasan membuat Alano HARUS meraih peringkat satu paralel. Dengan kata lain, ia harus menyingkirkan sahabatnya sendiri d...