"Gue nggak mau ikutin permintaan kalian," sinis Nara melipat kedua tangannya didepan dada.
"Come on, Na. Lo harus bisa ngalahin Alano, lo juga pinter," tutur Bunga meyakinkan.
"Gue nggak mau jadi rival Alano, oke. Lagian bentar lagi kita ujian semester, yah nggak mungkin dapat peringkat paralel sedangkan nilai gue nggak sebagus Alano."
Tio menghela napas panjang sambil terus mengaduk jus dihadapannya. "Lagian lo aneh. Lo itu pinter, tinggal belajar lebih keras, pasti lu masuk peringkat paralel lagi."
Peringkat paralel di tahun pertama memang dikuasi oleh Disa, Alano dan Nara. Tapi di tahun-tahun berikutnya nilai Nara justru merosot jauh. Bukan tanpa sebab, hal itu dikarenakan Nara lebih fokus ke musik. Bagi Nara, nilai tidak menjamin masa depan. Tapi Fashion, itu akan membantumu mengubah sudut pandang dunia.
"Udah jangan dipaksa," tukas Deni melonggarkan dasi.
"Tio, lo kan tau nilai Alano semester ini nyaris sempurna. Nilainya B di 1 mapel, balas dendamnya ke 10 mapel," ketus Deni meneguk jus dihadapannya.
"Lo lupa? Berapa kali dia ngelempar kertas ulangan ke tong sampah karena kesal nggak dapat A+?" sambung Deni.
"Nah itu tau. Kalian nyuruh gue mati-matian belajar buat merebut posisi Alano? Ogah!" tolak Nara mentah-mentah.
"Gue bukan Disa yang always belajar untuk mempertahankan beasiswa. Gue mau lakuin apa yang gue suka."
Bunga manggut-manggut sambil mengingat sahabatnya yang sedang koma. "Padahal nilai Disa kali ini bagus semua, nggak ada yang B. Cuman ada 3 kali dapat A, sisanya A+."
"Gue jadi kangen liat dia senyum, walaupun banyak masalah dia tetap bisa senyum. Sayang, di hari terakhir pas dia masih baik-baik aja, dia murung banget."
"Murung?" ulang Tio menarik kursi sedikit maju.
"Iya, Disa keliatan murung waktu itu. Kalau ditanya kenapa, dia malah geleng kepala sambil nunjukin fake smile," jelas Nara menyandarkan tubuhnya di kursi.
"Apa gara-gara ucapan Alano sebelum hari itu ya?" pikir Deni membuat atensi teralihkan padanya.
Dahi Nara mengerut, mereka seolah sedang bermain teka-teki dengan situasi ini.
"Tau dah, gue cuman kecewa sama Alano."
Nara melirik Tio lalu menggeleng pelan. "Kok gue masih nggak percaya ya, kalau Alano berani ngelakuin itu."
"Dia sendiri yang ngaku. Lo kenapa sih, belain dia terus?"
Nara memutar bola matanya malas karena Bunga lagi-lagi berbicara lantang. "Bisa nggak sih, lo nggak usah ngegas? Kalian mau dengerin gue atau enggak? Kalau kalian lebih milih marah-marah, mending gue cabut."
"Ya lagian lo selalu ungkit masalah ini, Nara."
"Ya gue cuman mau ngasih pendapat, Bunga."
"Udah jangan berantem terus. Masalah kita udah banyak, jangan ditambah," ujar Deni jauh lebih tenang dibanding yang lain.
"Oke, lo mau jelasin apa, Na?"ucap Tio tidak ingin memperpanjang masalah.
Nara maju sedikit membuat seluruh temannya ikut menunduk. Karena lokasi mereka saat ini sedang ada di Cafe, maka harus memelankan suara jika tidak ingin kalau hal ini sampai bocor ditempat umum.
"Coba kalian pikir, orang yang selama ini kita kenal baik, pengertian dan lebih sering nyembunyiin masalahnya. Tiba-tiba jadi agresif, masuk akal nggak sih? " bisik Nara melirik ke arah teman-temannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secercah Darah
Teen FictionTampan, kaya, cerdas. Sempurna. Kata orang, Alano itu sempurna. Padahal semua orang tau, tidak ada manusia yang sempurna. Sebuah alasan membuat Alano HARUS meraih peringkat satu paralel. Dengan kata lain, ia harus menyingkirkan sahabatnya sendiri d...