Kondisi sekolah kini telah sepi, bel pulang sudah berbunyi sekitar 30 menit yang lalu. Alano keluar dari toilet dengan menggunakan Hoodie hitam lalu menutup kepalanya dengan topi. Ia sengaja pulang sedikit lebih telat agar tidak perlu desak-desakan dengan yang lain.
Sepanjang koridor pikiran Alano mulai meracau entah kemana, ia melihat Sekolah tempat dirinya menuntut ilmu dengan perasaan kalut.
Kaki Alano tertahan di dekat tembok lalu kembali mundur sambil mengintip ke arah gerbang.
"Belum menyerah juga," kesal Alano saat melihat Unang berdiri di dekat gerbang.
Mata Alano menelisik di sekitarnya mencari celah agar bisa keluar dengan aman.
Sebuah ide terlintas di otak Alano saat melihat Nara menuruni anak tangga. Gadis itu baru keluar dari ruang seni untuk membicarakan hal penting tentang acara pembagian rapor Minggu depan.
"Ikut gue," ujar Alano menarik tangan Nara.
"Lah, kemana?"
Alano tidak menjawab, ia justru menarik Inara ke koridor lalu berhenti disalah satu tembok sambil mengintip ke arah gerbang.
"Lo liat bapak-bapak yang ada disana?" tunjuk Alano ke arah Unang. Nara mengganguk.
"Tolong alihin perhatiannya supaya gue bisa keluar."
Mata Nara menyipit menatap ke arah gerbang memastikan siapa yang sedang Alano tunjuk.
"Dia bukannya supir lo? Perasaan udah berapa hari dia datang. Gue nggak pernah liat lo ikut dia. Kenapa?"
"Kunci motor lo mana?" tukas Alano tanpa menjawab pertanyaan Nara.
"Buat apaan?"
"Kunci motor lo mana?" ulang Alano menyodorkan tangan dihadapan Nara.
Kali ini Nara hanya bisa pasrah lalu mengambil kunci motor dari dalam saku. Nara sedang malas berdebat dan sebisa mungkin ia menghindari hal itu.
"Bentar." Nara menarik kembali kunci yang hampir saja Alano pegang.
"Apalagi?"
"Lo kan nggak bisa bawa motor. Bisa hancur motor gue."
"Gue bisa bawa motor," ujar Alano membuat Nara tertegun, pasalnya ia tidak mengetahui hal itu. Alano langsung menyabet kunci dari tangan Nara lalu mendorong tubuh Nara keluar dari persembunyian.
"Nanti gue tunggu di Cafe biasa, oke."
"Sadis, gue yang punya motor lu yang seenaknya," celoteh Nara berjalan menuju gerbang.
Gadis itu berjalan ke arah Unang, ia tidak masalah jika Alano meminta bantuan. Tapi terkadang pemuda itu cukup menyebalkan.
"Supirnya Alano ya?" tanya Nara basa-basi.
"Iya," angguk Unang tersenyum simpul.
"Non, kenal Den Alano?"
Nara mengganguk sambil tersenyum hangat.
"Iya, aku Nara," ujar Nara memperkenalkan diri.
"Oh nama saya Unang."
"Non, liat Den Alano nggak?" tanya Unang harap-harap cemas.
Nara menoleh ke area sekolah lalu mengembalikan atensinya ke Unang. "Sekolah udah bubar dari setengah jam lalu. Mungkin Alano udah pulang."
"Enggak mungkin, saya dari tadi disini. Den Alano belum keluar."
"Alano pasti udah pulang sebelum Bapak datang kesini," ujar Nara berusaha membuat Unang lengah.
"Saya udah dari tadi disini, Non. Tapi Den Alano emang belum keluar."

KAMU SEDANG MEMBACA
Secercah Darah
Dla nastolatkówTampan, kaya, cerdas. Sempurna. Kata orang, Alano itu sempurna. Padahal semua orang tau, tidak ada manusia yang sempurna. Sebuah alasan membuat Alano HARUS meraih peringkat satu paralel. Dengan kata lain, ia harus menyingkirkan sahabatnya sendiri d...