46

642 46 14
                                    

Teras rumah Laras kini diisi oleh empat orang, mereka semua kini tengah berdiri diluar dengan pikiran masing-masing. Hari sudah gelap, matahari sudah tenggelam diganti oleh gelapnya malam.

Setelah Alano tenang, kini ia tengah tertidur pulas ditemani Nara yang ingin menjaga adiknya.

"Kalian nginap disini," pinta Laras.

"Yang benar aja, La," ketus Antonio tidak setuju, Laras menatap Antonio sinis. "Ini rumah aku, jadi aku yang buat keputusan."

"Dengan minta mereka ada didekat Alano?"

"Stop bertindak egois, Antonio. Kamu lihat kan tadi, kondisi Alano gimana? Aku mau Aleta jagain Alano malam ini. Kalau dia sampai kenapa-napa gimana?" tanya Laras merasa sangat kesal dengan tindakan semena-mena Antonio. Jika saja pria itu tidak menarik Alano, mungkin Alano tidak akan mengalami sakit seperti tadi.

Laras juga sudah menjelaskan kalau wajah Alano tidak sengaja ditampar Antonio. Awalnya Aleta marah tapi melihat kondisi Alano saat ini, maka ini bukan saat yang tepat untuk berdebat.

"Maaf tapi saya akan pulang aja," ucap Riko tiba-tiba.

"Kok pulang, Mas?" tanya Aleta mendekat.

Riko mendekat ke telinga Aleta. "Enggak enak kalau Mas disini. Mending Mas pulang dulu, kamu sama Anesha disini aja. Alano butuh kalian."

Aleta akhirnya mengganguk pasrah. "Yaudah, hati-hati Mas."

"Saya permisi dulu," ucap Riko hendak menuruni anak tangga yang ada di teras.

"Silahkan," ucap Laras masih sopan.

Ia pernah melihat Riko di acara sekolah, tapi mereka tidak pernah berbicara sedikitpun. Yang Laras tau, dilihat dari perilakunya, Riko terlihat seperti pria yang baik dan memiliki etika.

"Enggak usah temui kami lagi," tegas Antonio.

Riko berbalik lalu menyunggingkan senyum tipis. "Kamu masih belum sadar, kesalahan kamu apa?"

Antonio mengepalkan tangannya saat mendengar sindiran yang Riko lontarkan.

Riko kembali mengucapkan satu kalimat sebelum benar-benar pergi. "Ngomong-ngomong, Antonio. Alano lebih mirip Aleta."

****

Alano membuka mata perlahan, ia merasa  lebih tenang sekarang. Rasa sakit yang ia rasakan perlahan ikut menghilang setelah beristirahat. Untuk sesaat, Alano masih harus mengedarkan matanya keseluruh kamar.

Suara lenguhan kecil berhasil membuat Alano menoleh. Ada seseorang yang tengah tidur tengkurap di tepi kasur yang ia gunakan.

Alano diam beberapa saat sambil memperhatikan wajah Nara, mata gadis itu tertutup rapat dengan tangan dilipat diatas kasur. 

Tidak pernah sekalipun terlintas dipikiran Alano kalau Nara adalah saudaranya. Tapi sekarang, gadis itu tidak pernah membiarkan dirinya merasa sendirian.

Alano menyikap selimut yang menutupi tubuhnya lalu beringsut turun dari kasur perlahan-lahan agar tidak membangunkan Nara. Bunyi jam dinding terdengar sayup dimalam sunyi ini, Alano melihat jam yang terpajang di dinding, menunjukkan pukul 8 malam.

Alano hanya ingin melakukan satu hal malam ini, ia ingin mencari ketenangan walau hanya sejenak. Dalam hitungan detik, Alano sudah keluar dari kamar tanpa membangunkan sang Kakak. 

Pintu utama masih terbuka, Alano dapat mendengar suara sayup empat orang dari luar sana. Bahu Alano mengedik naik, tidak tertarik dengan topik yang tengah dibicarakan. Dengan langkah pelan Alano membawa dirinya ke dekat kolam berenang untuk mencelupkan kaki disana.

Secercah DarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang