8

369 36 1
                                    

Cahaya matahari masuk melalui celah udara, memberikan sedikit cahayanya kedalam kamar bernuansa abu-abu. Suasana kamar yang gelap kini sedikit diisi cahaya yang bahkan tidak diterima oleh penghuninya.

"Kenapa harus ada pagi?" Alano memundurkan tubuhnya ke dinding. Setiap pagi ia selalu merasakan beban yang setiap hari semakin menumpuk. Rasanya ia hanya ingin melihat malam sehingga bisa beristirahat dengan nyaman.

"Den." Neni mengetuk pintu Alano berkali-kali membuat penghuninya harus beranjak dari kasur.

Alano membuka kenop pintu, disambut senyuman manis dari Neni yang melihat Alano masih berantakan.

"Den, setengah jam lagi di tunggu tuan untuk sarapan," ujar Neni.

"Oke," angguk Alano lalu menutup kembali pintu kamar seraya pergi ke kamar mandi.

Setengah jam berlalu, Alano sudah siap dengan seragam lengkap. Alano membiarkan kakinya melangkah bahkan ketempat yang sekarang sangat tidak ingin ia datangi.

"Disiplin, kerja cerdas, dan singkirkan para lawan."

Alano berdecak pelan sambil menatap Antonio malas, hari masih pagi dan semuanya dimulai dengan wejangan sang ayah.

"Pagi Alano," sapa Antonio menatap anaknya yang tidak bersemangat untuk sarapan.

"Pagi, Pa."

Alano mengisi ruang kosong disamping Antonio, mencoba untuk menikmati sarapannya dengan tenang.

"Jadi, gimana?" Antonio buka suara sambil mengunyah sepotong roti tawar.

"Gimana apanya, Pa?" ujar Alano pura-pura tidak tau.

Antonio melirik ke arah Alano sejenak.
"Kamu udah siap, Sekolah diluar negri?

Hening
Alano menoleh ke arah Antonio sembari tersenyum miring. "Santai aja, Pa. Itu nggak bakalan terjadi." Alano menarik tas yang masih bertengger di kursi dengan tatapan malas.

"Aku bakalan cari cara untuk nyinggkirin Disa dan selesain omong kosong ini," tegas Alano berdiri membiarkan makanan yang baru ia cicipi tersisa diatas meja.

"Ini tantangan, Alano."

Langkah Alano terhenti, tubuhnya berbalik menghadap Antonio yang masih setia di meja makan.

"Sayangnya aku udah bisa bedain." Ucapan Alano menggantung, sorot matanya menatap dalam ke arah Antonio.

"Yang mana tantangan, yang mana perintah."

Alano Zailandra, apakah dia masih sama?
Terkadang Laras memikirkan hal itu berkali-kali setiap hari. Kini, tubuhnya dibuat terpaku dengan jawaban Alano kepada Antonio. Bukan, ini bukan didikannya, ada perbedaan dari nada bicara Alano dan itu bukanlah ajaran tata krama yang Laras berikan.

Apalagi Alano selalu mengatakan kata Menyingkirkan, satu kata yang seolah sangat aneh jika di dengar berkali-kali.

"Tante?"

Laras tersentak, sedetik kemudian ia mengukir senyuman ke arah Alano yang berdiri tepat dihadapannya. "Mau berangkat Sekolah? Tante anterin."

Alano mengganguk lalu mengikuti langkah Laras masuk ke mobil.

Suasana menjadi awkward sepanjang perjalanan, Alano berdiam diri dengan menatap ke arah jendela sedangkan Laras masih sibuk menepis seluruh pikiran buruk tentang Alano.

"Mau makan dulu?"

Semua lamunan Alano buyar seketika. Kepala Alano menggeleng pelan, ia sama sekali tidak selera untuk makan.

"Oke. Satu belokan lagi kita sampai sekolah kamu, apa harapan hari ini?" Laras mengulas senyum menyiapkan pendengarannya untuk mendengar setiap harapan Alano seperti biasa.

Secercah DarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang