43

544 53 10
                                    

"Masih sakit?"

Pertanyaan itu keluar dari seorang psikiater setelah melakukan pemeriksaan fisik. Devi menunggu respon Alano, meski pada akhirnya yang ia dapat hanya sebatas gelengan. Tapi tak apa, setidaknya Alano mau merespon.

"Akhir-akhir ini, dada kamu sering sakit?" tanya Devi serius, membuat Alano perlahan melirik dirinya.

Alano mengganguk, tidak berbicara meski sepatah kata. Baginya, Devi hanyalah orang asing.

"Masih selera makan?"

Alano tak menjawab, tatapannya dialihkan menghadap jendela dengan posisi duduk bersandar dibantal.

Tak ada jawaban membuat Devi menghela napas sejenak. Keluarga Alano sudah menjelaskan perihal kondisi pasiennya ini sebelum pemeriksaan dimulai. Setelah dipindahkan keruangan baru akibat adanya kaca yang pecah, kini Alano harus dihadapkan dengan psikiater yang tak lain adalah teman Mamanya.

Devi menatap Alano lamat, setelah melihat langsung kondisi Alano saat down diruang Aleta. Kini ia ingin memastikan bahwa prasangkanya diawal tidaklah benar. Semoga saja.

Devi kembali menatap luka ditangan Alano, sejak awal luka itu sudah menarik perhatiannya. "Boleh saya periksa lukanya," ucap Devi hendak meraih tangan Alano tapi pemuda itu dengan cepat menyembunyikan tangannya dibawah selimut. 

Devi mengerti, itu sebabnya ia hanya akan bertanya tentang yang lain. "Selain dada kamu yang sakit, ada hal lain yang kamu rasain?" 

Dibalik selimut, jemari Alano perlahan meremat sprei kasur.

"Aku baik-baik aja, cuman terkadang suka sakit kepala," ungkap Alano akhirnya menjawab, berharap Devi segera pergi meninggalkannya.

Tapi tidak, Devi hanya diam beberapa saat sebelum akhirnya bertanya. "Kamu banyak pikiran ya?"

Alano langsung menoleh kearah Devi, wanita itu hanya memberinya senyum tipis lalu duduk dikursi tepat disampingnya. Alano sadar, Devi bukan sekedar orang asing.

Devi menyadari satu hal, ada yang berbeda dari tatapan Alano. Ada hal yang anak ini simpan seorang diri. "Kenapa?"

Mata Alano mulai berembun sesaat setelah pertanyaan itu dilontarkan dengan nada sangat lembut. Namun dengan cepat Alano menepisnya, pemuda itu membuang muka lalu menghela napas untuk menahan air matanya. "Aku baik-baik aja. Sebentar lagi juga sembuh dan bakalan keluar rumah sakit."

"Saya harap juga begitu," ungkap Devi tersenyum. "Tapi Alano ...."

Alano kembali menoleh. Devi menggeleng, tatapannya begitu menenangkan. "Mereka yang baik-baik aja, nggak akan nangis kalau ditanya kenapa." Devi tidak buta ia menyadari mata berkaca-kaca yang Alano tak sengaja tunjukkan.

"Kamu mau ceritain semuanya ke Dokter Devi? Bebas apa aja, kamu bisa cerita semuanya, nggakpapa."

Alano menunduk perlahan. Memikirkan semua yang Devi katakan.

"Jangan takut. Kamu nggak sendiri, semua orang punya lukanya masing-masing dan mereka yang ingin baik-baik aja harus menyembuhkan lukanya."

"Alano."

Perlahan Alano kembali menoleh kearah Devi. Sang Dokter tertegun, tatapan Alano sarat akan luka.

"Alano, kenapa?"

Air mata Alano akhirnya luruh. Selama ini, pertanyaan inilah yang Alano butuhkan. Hanya sebatas kata Kenapa, karena nyatanya ia hanya ingin didengar.

"Aku capek," ucap Alano membuat Devi tertegun. Tangis Alano akhirnya mengema, isakannya tak lagi bisa ditahan.

"Dok, disini rasanya selalu sakit," ucap Alano menepuk dadanya kuat.

Secercah DarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang