Suara derap kaki terdengar mendekat, Alano masih terus berlari walau napasnya mulai terasa sesak.
"Lawan?" pikir Alano lalu berbalik untuk melihat siapa yang sedang mengejarnya.
"Sial," umpat Alano berlari lebih kencang.
Dua orang pria bertubuh kekar bukanlah lawan yang sebanding untuk anak SMA.
Kaki Alano terus berlari meski napasnya perlahan mulai tercekat. Karena panik, Alano justru memilih jalan dihimpit tembok besar yang merupakan pagar rumah mewah. Tidak ada celah untuk meminta tolong bahkan berteriak, itu hanya akan membuat tenaganya habis karena tidak mungkin ada yang mendengar.
Salah satu pria itu mulai mendekat lalu mendorong Alano keras membuat tubuh Alano tersungkur ke tanah.
"Mantap, Dang," puji temannya datang menghampiri.
Alano sedikit meringis lalu memegangi dahinya yang terasa sakit membentur batu.
"Darah?" ujar Alano melihat telapak tangannya.
"Kita selesaikan sekarang? Atau seret nih anak?"
Alano berdiri meski luka lecet ada di sekujur tubuhnya. "Tangkap kalau bisa."
"Cih, Habisi sekarang Bol," tukas Dadang menarik tangan Alano.
Tangan Alano mengudara lalu melempar pasir mengenai mata Dadang dan Bole. Alano menendang perut Dadang lalu mendorong pria bertubuh kekar itu ke arah temannya sendiri.
Alano kembali berlari, ia harus meminta pertolongan bagaimanapun caranya.
"Kejar!" tukas Bole berlari mengejar Alano yang mulai menjauh.
Kedua pria itu memakai masker bukan topeng, rasanya Alano ingin sekali menarik masker kedua pria itu untuk melihat wajahnya lebih jelas.
"Telpon yang lain! Bawa mobil!" titah Bole semakin gencar mengikuti langkah Alano. Sedangkan Dadang mengeluarkan ponsel untuk menghubungi temannya yang lain.
Alano mengatur napas berkali-kali, ia sudah terlalu lama lari. Niat awal lari santai kini ia harus berlari sangat cepat agar tidak tertangkap.
Suara mobil dan motor mulai terdengar lalu lalang, sudah dapat di pastikan kalau sedikit lagi ia akan sampai di jalan. Setidaknya itu akan lebih aman.
Bole berlari lebih cepat, dengan sigap ia menarik tangan Alano lalu menyeretnya kasar.
"Lepas!" ronta Alano. Bole semakin mengencangkan genggamannya membuat Alano meringis kesakitan.
"Kalian mau apa!"
"Woi! Mana mobilnya?" teriak Bole ke arah Dadang yang baru saja sampai.
"Terlalu lama, habisin aja nih anak!" tukas Dadang diangguki Bole. Tubuh Alano di dorong kembali membentur tembok besar di sekitarnya.
Perlahan Alano luruh, kakinya sudah tidak kuat berdiri ataupun berlari lagi.
Alano berbalik menghadap kedua pria yang sedang tersenyum smirk padanya, mata Alano menyipit karena tidak dapat melihat dengan jelas.
Bole mengeluarkan pisau tajam dari sakunya lalu berjongkok di dekat Alano. "Bagaimana rasanya di ambang kematian?" tanya Bole mulai menempelkan pisau ke wajah Alano.
"Gue denger, Lu berniat bunuh teman lu sendiri'kan? Mungkin ini yang dia rasakan saat lu pengen merenggut nyawanya!"
Suara tawa menggelengar saat melihat Alano sudah mulai kehilangan tenaga untuk melawan. "Bos pasti senang, karena musuh besarnya akan MATI!"
"M-musuh?" ucap Alano, napasnya tidak teratur dengan tubuh dibasuh keringat.
"Cepat selesaikan pekerjaan kita!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Secercah Darah
Teen FictionTampan, kaya, cerdas. Sempurna. Kata orang, Alano itu sempurna. Padahal semua orang tau, tidak ada manusia yang sempurna. Sebuah alasan membuat Alano HARUS meraih peringkat satu paralel. Dengan kata lain, ia harus menyingkirkan sahabatnya sendiri d...