47

521 42 17
                                    

Mata Alano kembali tertutup rapat. Seharusnya hari ini ia mengambil sampel darah untuk tes DNA, tapi niat itu urung saat Laras melihat kondisi Alano tidak memungkinkan.

Laras menarik selimut menutupi tubuh keponakannya. Menatap wajah anak yang ia rawat dengan cinta namun kini justru dihancurkan oleh realita. Laras mencium dahi Alano lama, air matanya terasa ingin jatuh mengingat ucapan Devi tadi siang.

"Cepat sembuh," bisik Laras.

Laras mengelus rambut Alano lembut. "Tante nggak suka lihat Alano yang sekarang. Kamu kelihatan rapuh banget, Tante nggak suka. Tante mau lihat kamu senyum lagi," ucap Laras dengan mata berkaca-kaca. Hatinya terasa dihujam ribuan jarum saat menyadari Alano sudah sangat terluka.

Laras berjalan keluar meninggalkan Alano dikamar. Untuk sesaat ia mengedarkan pandangan ke sekitar ruangan, sampai akhirnya tersenyum kearah wanita yang berjalan masuk sambil menenteng beberapa kantong berisi makanan.

"Azka mana? Udah tidur?"

Wanda mengangguk sambil menaruh kantong-kantong tersebut diatas meja. "Iya, lagi tidur bareng Mas Arbi, biasa kangen Papanya. Alano gimana? Udah tidur?"

"Udah," ucap Laras berjalan mendekati Wanda.

"Maaf aku ngerepotin."

"Santai aja kali, aku sekalian belanja," ucap Wanda duduk di sofa bersama Laras.

Setelah kejadian tempo hari, Laras memutuskan untuk tinggal sementara di apartemen. Beruntung ia selalu menitipkan salah satu kartu akses ke Wanda, jadi ia tidak perlu repot pulang dan bertemu Antonio ataupun Aleta.

Laras terus meremas kedua tangannya untuk meredam kegelisahan.

"Kalian tadi ke psikiater?"

Laras mengangguk singkat lalu bersandar disofa sembari memijit kepalanya pelan.

"Apa kata Dokter? Kamu kayaknya gelisah banget, La."

Laras menarik napas pelan, ada ketakutan disetiap helaannya. "Kondisi Alano memburuk. Obatnya juga nambah."

"Terus gimana?"

"Aku juga nggak tau, Wan. Aku jadi takut."

Wanda mengelus bahu sahabatnya, berusaha memberi sedikit ketenangan. "Alano pasti nggakpapa, La. Yang penting kamu sekarang fokus ke kesehatannya aja, jangan sampai dia drop."

"Itu masalahnya," tekan Laras berdiri, berjalan menuju jendela dengan tatapan gelisah.

"Kondisi emosional Alano akhir-akhir ini nggak stabil, belum lagi semua masa lalu yang terus diungkit. Gimana caranya aku jaga kondisi dia kalau semakin lama keadaan sekitarnya aja malah makin buruk."

Wanda ikut berdiri menghampiri Laras.

"Aku bakalan selesaikan semuanya dalam bulan ini atau kondisi Alano bakalan semakin buruk," tekad Laras memandang wajah Wanda serius. "Aku nggak mau kehilangan Alano, Wan. Aku nggak akan sanggup, aku akan lakuin apapun supaya Alano sembuh bahkan jika itu harus nentang kakak aku sekalipun."

"Kamu beneran mau lakuin itu, La?" tanya Wanda memastikan keinginan yang Laras sampaikan tadi siang.

"Nggak ada cara lain. Alano harus pulih. Aku nggak tega lihat dia kayak gini terus," ucap Laras menaruh kedua tangannya di kusen jendela sambil menatap langit malam.

"La, aku rasa ini nggak bener. Kamu mau misahin dia dengan orang tuanya, coba pikir lagi deh," pinta Wanda was-was.

Laras menggeleng. "Dari awal, mereka yang ninggalin Alano. Mereka sibuk dengan dunia masing-masing. Dan sekarang, mereka jadiin Alano alasan untuk ungkit masa lalu. Mereka egois, mereka nggak mikirin kondisi Alano."

Secercah DarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang