Angin yang menyejukkan, serta desiran air yang terdengar tenang masih tidak mampu mematikan api amarah yang sedang membara.
Bunga berdiri di tepi jembatan sambil menyobek lembaran kertas yang ia bawa dari rumah.
"Hancur, berantakan," ucap Bunga menyobek kertas berisi tulisan tentang mimpinya.
Semua usahanya sudah berakhir sia-sia, isu itu sudah sampai ke telinga orang tuanya dan tentu saja semua mimpinya hancur dalam semalam.
"Lo jahat Anesha! Lo penghancur!" pekik Bunga melempar seluruh kertas yang ia pegang ke sungai, air di bawah sana menghancurkan kertas itu secara perlahan persis seperti Anesha yang menghancurkan mimpinya.
Tubuh Bunga gemetar hebat, ia langsung menunduk, membiarkan beberapa tetes air matanya luruh. Bunga mencengkram pagar jembatan kuat, tak peduli meski jembatan itu ikut memberi sensasi perih pada telapak tangannya.
"Jangan buang sampah sembarangan Kak."
Bunga mendongakkan kepalanya, suara itu pernah ia dengar dulu. Bunga menoleh kearah samping, tampak seorang gadis kecil berseragam sedang menatapnya bingung.
"Kamu?"
"Kak Bunga."
Dahi Bunga berkerut heran, mencoba menebak nama gadis kecil itu. "Nila kan?"
Senyum dibibir Nila mengembang, ia mengangguk mantap saat Bunga mengenal dirinya.
Bunga seketika dibuat bersimpuh dihadapan Nila, menyamakan tingginya dengan gadis kecil itu. Bunga tak berhenti menatap seragam SD yang tengah Nila pakai, ia dibuat bingung sekaligus senang. Sedikit melupakan masalahnya sejenak.
"Nila sekolah?" tanya Bunga tak percaya, pasalnya dulu Nila sendiri yang bercerita kalau untuk makan saja dia kesulitan.
"Iya, Kak. Bahkan teman-teman Nila juga banyak yang sekolah loh."
Bunga menghapus air mata di pipinya sambil terus mengembangkan senyuman. Ia cukup senang melihat hidup Nila jauh lebih baik dari sebelumnya.
"Kak Bunga apa kabar?"
Bunga menyentuh wajah Nila sambil tersenyum haru. "Baik. Kakak seneng banget liat kamu bisa sekolah."
"Nila juga seneng bisa lihat Kak Bunga lagi. Oh ya, Kapan-kapan main ya kak kerumah Nila, rumahnya udah bagus kok jadi Kakak nggak perlu takut."
Bunga terkekeh lalu mengangguk setuju, sepertinya kehidupan gadis kecil itu memang jauh lebih baik sekarang. "Ya udah, kakak minta alamatnya dong. Kapan-kapan Kakak main kesana."
"Ajak temen-temen Kakak aja, terus tinggal tanya Kak Alano, diakan udah tau."
Bunga tersentak kaget saat nama Alano disebut. "Kak Alano tau?"
"Kak Al kan orang yang udah bantuin kami, Kak. Kak Al juga pernah nginap kok."
Air mata Bunga kembali luruh setelah mendengar hal itu.
"Kak Al baik banget. Kak Bunga beruntung bisa temenan sama Kak Al."
Ucapan Nila berhasil menyentuh hati Bunga yang selama ini diisi kebencian dan kesalahpahaman terhadap sahabatnya sendiri.
"Orang seperti apa yang gue benci itu," lirih Bunga kecewa pada dirinya sendiri.
"Siapa yang dulu lo hina, Bunga. Alano bahkan nggak pernah mikirin dirinya sendiri."
****
Sebuah gambar universitas terkenal terpampang jelas di wallpaper laptop, Anesha mulai mengotak-atik laptopnya untuk melihat beberapa data, jarinya terus bergerak menekan tombol keyboard dan larut dalam kesendirian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secercah Darah
Teen FictionTampan, kaya, cerdas. Sempurna. Kata orang, Alano itu sempurna. Padahal semua orang tau, tidak ada manusia yang sempurna. Sebuah alasan membuat Alano HARUS meraih peringkat satu paralel. Dengan kata lain, ia harus menyingkirkan sahabatnya sendiri d...