35

478 42 20
                                    

Antonio masuk kedalam ruangan bernuansa biru, pria itu menaruh tas berisi beberapa baju diatas sofa lalu memilih mendekati pemuda yang masih tertidur pulas dengan infus yang tertancap ditangannya.

Mata Alano masih terus terpejam dengan kepala dimiringkan ke arah kanan karena luka jahit di kepala bagian belakang.

Antonio menarik kursi di dekat ranjang Alano. "Untung kamu nggak kenapa-napa, Al. Cuman cedera ringan," batin Antonio duduk sambil menatap wajah Alano.

Pria itu langsung menyentuh dahi Alano. "Demamnya udah turun," ujar Antonio pelan.

Antonio mengelus sisi wajah Alano yang tadi ia tampar. "Jangan keras kepala, Al. Papa nggak suka kamu yang sekarang. Papa rindu kamu yang dulu. Kenapa kamu berubah seperti ini?" tutur Antonio menatap wajah Alano.

Ponsel Antonio berbunyi, ia langsung mengangkat telpon dari salah satu stafnya di Kantor.

"Hallo," ujar Antonio sambil sesekali melihat wajah Alano.

"Saya langsung kesana sekarang," ujar Antonio bangkit dari kursi dan bergegas keluar ruangan.

Sesaat setelah pintu tertutup mata Alano kembali terbuka, pemuda itu sudah bangun sejak tadi dan mendengar semua yang Antonio ucapkan.

"Siapa yang sebenarnya berubah?" ucap Alano memaksakan diri untuk duduk.

Alano langsung menyoroti infus yang tertancap ditangannya, tanpa pikir panjang ia langsung menarik infus itu kasar membuat darah menetes diatas kasur.

Alano turun dari kasur lalu mengganti pakaian yang ia kenakan dengan pakaian yang baru Antonio bawa. Antonio juga membawa sendal membuat pekerjaan Alano semakin mudah. Tanpa basa-basi Alano langsung keluar dari ruang rawat inap.

Tubuh Alano sudah mulai membaik, ia berjalan keluar dari rumah sakit tanpa memikirkan luka yang belum mengering di tubuhnya.

"Alano?" ujar seseorang yang baru saja memarkirkan motor di dekat rumah sakit.

"Dia kenapa keluar dari rumah sakit?"

"Gue ikutin aja deh," ucap gadis berambut sebahu melajukan motornya mengikuti Alano dari belakang.

Alano berhenti di sebuah taman lalu duduk di kursi dengan tatapan kosong. Mata Alano tertutup perlahan, ia hanya ingin sendiri. Untuk beberapa saat suasana hening menyelimuti kesendiriannya, padahal malam ini udara terasa cukup dingin.

"Kalau lo butuh temen cerita, gue siap dengerin."

Dahi Alano berkerut lalu membuka matanya. Tampak Nara kini sudah duduk di sampingnya. "Lo?"

Nara tersenyum simpul lalu meraih tangan Alano yang masih mengeluarkan darah. Tanpa banyak bertanya Nara langsung membersihkan darah ditangan Alano menggunakan sapu tangan.

Alano menatap Nara sendu, ia sedikit mendekati Nara lalu menaruh kepalanya di bahu gadis itu.

"Sakit banget ya?" tanya Nara melihat tangan Alano.

"Iya."

"Lo masih bisa tahan?"

"Mungkin," jawab Alano dingin.

"Kalau enggak tahan, lo bisa kasih tau gue," tutur Nara melihat luka di tangan Alano.

Mereka terdiam beberapa saat. Nara membiarkan Alano bersandar dibahunya. Seolah lupa kalau kemarin mereka bertengkar hebat.

"Lo kabur dari Rumah sakit?" tanya Nara buka suara.

Alano terus menatap kosong ke arah depan. "Tau darimana?"

"Ini kayaknya bekas infus. Kepala lo juga kenapa di perban gitu?" tutur Nara mengelus wajah Alano yang masih bersandar di bahunya.

"Cuman cedera ringan," jawab Alano singkat lalu memejamkan matanya di bahu Nara.

Secercah DarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang