48

498 42 11
                                    

Gemercik air hujan terdengar menghantam kaca jendela, Jam dinding menunjukkan pukul 8 menandakan kalo hari sudah pagi.

Ponsel di atas nakas akhirnya berbunyi, mengusik sedikit keheningan yang memang sudah sangat lama terjadi. Tanpa berlama-lama, pria yang sedang berbaring di atas kasur itupun menggangkat telpon sambil berusaha membuka matanya.

"Selamat Pagi, Pak. Saya hanya mau mengingatkan kalau pagi ini ada jadwal meeting dengan perusahaan BR company."

"Jam berapa?" tanya Antonio dengan suara berat.

"Meeting akan dilaksanakan sekitar pukul 10 nanti, Pak. Apakah bapak bisa hadir?"

"HM, saya kesana nanti," ucap Antonio mematikan telpon sepihak.

Antonio bangkit dari tempat tidur, lingkaran hitam terlihat di sekitar area mata menunjukkan kalau ia tidak pernah tidur teratur.

Siklus harinya hanya sekedar bangun, kerja sampai lembur lalu begadang. Antonio terus berusaha mengalihkan pikirannya dengan cara bekerja tanpa mengenal waktu. Terkadang Antonio juga tidak pulang agar tidak perlu mengingat masalah yang terjadi.

Menyedihkan, mungkin hanya itu yang orang lihat dari sosok Antonio sekarang. 

Kurang lebih sudah enam bulan, semenjak Alano pergi. Dunia terasa abu-abu bagi Antonio, ia hanya merasa hampa. Tidak ada lagi suara yang mengisi harinya, bahkan rumah besar yang ia tempati seolah kehilangan nyawa. 

Dulu, meskipun sibuk. Ia tetap bisa mendengar kabar Alano. Tapi sekarang berbeda, tidak sekalipun Laras maupun Alano memberi kabar sejak hampir enam bulan terakhir.

Pria itu melangkah masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri. Ia harus ke kantor lagi, padahal baru saja matanya tertutup pukul 6 pagi tadi.

Selang beberapa menit pria dengan tubuh ideal itu keluar dari kamar dengan setelan rapi. Rahang tegas dengan tatapan tajam menjadi ciri khas Direktur utama PT ANL Sejahtera.

Suara langkah Antonio mengema, merambat kedinding kokoh yang ada disekitarnya. Untuk sesaat selintas aroma wangi menghampiri hidung Antonio, langkahnya memelan lalu memilih memutar arah ke salah satu kamar yang tak jauh dari tangga. 

Aroma wangi favorit putranya langsung masuk ke penciuman Antonio. Ia melirik setiap sudut ruangan yang cukup luas dengan perlengkapan tersusun rapi.

Terlihat dengan jelas kalau Neni sedang sibuk membersihkan setiap debu dengan kemoceng di kamar putranya. Gerakan Neni berhenti, ia menatap penjuru kamar lalu menghela napas berat. "Den Alano, gimana kabarnya ya?"

"Alano pasti baik-baik aja."

Neni terjengit lalu berbalik, ia menatap Antonio canggung. Tatapan itu terlihat cukup sayup tapi tidak menghilangkan sisi tegas dari orang yang selama hampir sepuluh tahun menjadi majikannya.

"Maaf, Maaf Tuan. Saya keluar dulu."

"Bersihin aja, Bik. Saya cuman sebentar disini," ucap Antonio berjalan ke arah rak penuh piala. 

Kamar berwarna abu-abu mengkilap ini cukup luas untuk ukuran satu orang, fasilitasnya juga lengkap. Ada Tv, kulkas kecil, meja belajar, sofa, bahkan sebuah rak berisi penuh medali dan piala milik Alano. 

Anak itu akan melakukan apapun asal sang Papa pulang. Kini giliran Antonio yang dibuat bingung, bagaimana caranya membuat Alano pulang? Jalankan pulang, bahkan suara Alano sudah sejak lama tidak lagi terdengar.

Antonio mengambil foto Alano saat masih kecil, Alano memang tidak terlalu suka berfoto meskipun fotografi adalah salah satu hobinya. 

"Amerika," ucap Antonio pelan. Alano dibawa keluar negeri oleh Laras, ke Amerika lebih tepatnya. Antonio mengetahui hal itu dari Udin, supir Laras. Amerika, tapi di kota mana? Tidak mungkin ia kesana atau meminta orang untuk mencari Alano dan Laras di negara yang sebesar itu.

Secercah DarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang