26

475 47 18
                                    

Deru knalpot terdengar nyaring, beberapa pengendara berteriak kala pemuda itu melewati mereka dengan kecepatan tinggi.

Jembatan yang sudah jarang dilewati menjadi pemberhentian terakhir, hanya jalan berlubang serta karat di pagar jembatan yang saat ini menemani. Alano turun, membiarkan motornya tergeletak asal lalu menghempaskan helm kejalan.

"Kenapa!" teriak Alano diatas jembatan.

"Kenapa harus mereka!"

Pertahanan Alano runtuh, air mata yang sudah sangat lama tertahan kini kembali jatuh.

"Aku punya segalanya!"

"Tapi apa meminta keluarga itu salah!"

Alano merasakan sesak yang menyeruak, hatinya terkoyak sangat dalam saat tau banyak hal disembunyikan.

Pemuda itu menepuk dadanya kuat, berusaha menetralisir kesakitan didalam sana. "Aku selalu berusaha membuat Papa bangga!"

"Aku hanya ingin dia ada!"

"Kenapa itu juga salah!" pekik Alano memukul pagar jembatan yang telah berkarat.

"Aku percaya Papa!"

"Setiap hari aku takut! Aku takut kehilangan Papa!"

"Aku selalu takut Papa pergi sama seperti Mama!"

Alano berkali-kali memukul pembatas jembatan tanpa memperdulikan darah yang terus keluar dari tangannya. Rasa sakit yang Antonio berikan jauh lebih menyakitkan dibanding luka fisik yang ia buat sendiri.

"Tapi ternyata karena Papa, Mama pergi!"

"Pria macam apa yang tega berselingkuh disaat istrinya hamil!"

Alano berkali-kali berteriak mengatakan setiap rasa sakit yang ia rasakan kepada air mengalir dibawah jembatan. Ia sudah tidak kuat jika harus membiarkan luka dihatinya berkarat.

Pandangan Alano beralih ke arah air sungai, menundukkan kepala dengan tubuh gemetar, suaranya merendah saat mengatakan hal yang sudah sangat lama menyakiti dirinya.

"Tapi wanita macam apa? Yang tega meninggalkan anaknya?"

"Mama!"

Tubuh Alano luruh, kepercayaan yang ia bangun runtuh. Ia percaya Antonio, dia menyayangi Antonio dan itu lah yang membuatnya merasakan sakit hari ini.

Buku tangan Alano terus mengeluarkan darah. Mata Alano menerawang jauh kearah air yang mengalir.

Alano pernah menangis karena tau Mamanya adalah seorang penghianat, hari ini ia menangis karena tau kedua orangtuanya sama-sama penghianat yang menjebak dirinya dalam situasi menyesakkan.

Alano terus terisak di tepi pagar jembatan. Di khianati orang yang paling dipercaya itu sangat menyakitkan.

Semua yang ia lakukan untuk Antonio terasa sia-sia. Lututnya ditekuk, kepalanya tertunduk, matanya tertutup menahan rasa sakit.

Mata Alano kembali terbuka, kepalanya terangkat mengingat sesuatu yang akan menghilangkan sakitnya dalam waktu singkat. Tatapan Alano beralih ke aliran sungai, jemari Alano seketika sudah menggenggam kuat pagar jembatan lalu berdiri.

"Mari akhiri semua ini," ujar Alano sedikit melompat lalu kaki kirinya keluar dari batas pagar jembatan.

Tatapan Alano tidak teralihkan dari aliran sungai. Rasanya ia masih tidak percaya, Ia pikir, ia bahagia meski hanya bersama sang ayah, meski kekuargahya tak lengkap. Tapi nyatanya, kebahagian tersebut hanyalah akar dari kebohongan masalalu yang kini menusuknya sangat dalam.

Alano menuruti setiap ucapan Antonio yang memintanya menjadi sempurna. Ia memang selalu terlihat sempurna, tapi Alano sudah sangat muak dengan kata sempurna, ia terluka tapi tak ada satupun yang mengerti dirinya sebagai manusia.

Secercah DarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang