27

428 41 14
                                    

Alano menatap kosong ponsel di tangannya. Baik chat maupun telpon tidak pernah meninggalkan Alano sedetikpun sejak pertama kali ponsel itu kembali dihidupkan.

Anak-anak sudah pulang untuk tidur setelah bermain kembang api bersama Alano. Pemuda itu kini duduk di teras rumah Nila, tidak berniat menutup matanya walau hanya sebentar.

"Kenapa telponnya nggak diangkat?" tanya Mahmud mengejutkan Alano.

Alano menatap ke arah ponsel lalu mematikan ponsel tersebut agar tidak menggangu lagi.

"Lagi ada masalah ya?" tanya Mahmud duduk di samping Alano. Alano menggeleng agar Mahmud tidak curiga.

"Maaf ya, baju yang Bapak kasih nggak sebagus baju yang kamu pakai tadi."

"Enggakpapa, Pak. Lagian, itu seragam sekolah," jawab Alano jujur, ia memang tidak sempat mengganti baju saat pulang. Lagipula, seragam hari ini memang berupa kaos abu-abu yang dipakai setiap hari Sabtu.

"Nila udah cerita tentang luka itu," ungkap Mahmud melirik luka Alano.

"Dan kenapa kalian bisa bertemu, Bapak paham semuanya," ujar Mahmud membuat Alano terdiam.

"Punya masalah bukan berarti harus mengakhiri semuanya, nak. Kamu masih muda, masih banyak hal yang harus kamu capai."

Alano menoleh lalu memberikan senyuman yang sedari tadi tidak pernah ia tunjukkan kepada Mahmud. Tapi bahkan pria itu tau, ada rasa sakit bersamaan dengan senyuman yang Alano tunjukkan.

Alano menengadah keatas, menikmati angin malam yang terasa menyejukkan.

"Gimana caranya, Pak?"

Mahmud berdehem, dahinya berkerut naik saat Alano kembali menoleh padanya.

"Gimana caranya kalian bisa bahagia?" tanya Alano iri melihat kebahagiaan yang selalu ditunjukkan orang-orang kepada dirinya. Melihat tawa warga kampung yang begitu lepas tentu menimbulkan tanya dibenaknya, Apa yang kurang? Apa yang membuat dirinya sulit tertawa lepas seperti mereka?

"Bersyukur dan berdamai dengan keadaan, hanya itu."

"Caranya?"

Mahmud mengelus rambut Alano sambil menatap Alano penuh arti. "Coba dulu," ujar Mahmud menunjuk ponsel Alano. Alano langsung mengalihkan pandangan dari ponselnya agar tidak perlu mengingat masalah dirumah.

"Kalau kamu mau bahagia. Jangan sakiti orang-orang yang kamu sayang, walaupun kadang mereka yang kasih luka paling dalam. Coba sesekali lihat dari sudut pandang mereka," nasehat Mahmud.

"Nggak ada cara lain?"

Mahmud mengangguk. "Ada. Caranya itu, ada di dalam diri kamu."

Alano berpikir sejenak sampai akhirnya menoleh kembali ke arah ponsel yang ia pegang.

"Coba telpon dulu, kasih kabar. Minimal kesatu orang aja."

Alano menghela napas panjang sampai akhirnya mengganguk setuju. Mahmud mengelus rambut Alano lalu berdiri.

"Bapak tinggal dulu," ujar Mahmud masuk ke dalam rumah

Beberapa detik kemudian ponsel Alano kembali menyala disusul telpon dari Laras. Alano segera mengangkat telpon tersebut dan mendekatkan ponsel ke telinga.

"Hallo, Alano. Kamu baik-baik aja kan? Kenapa harus bawa motor sih sayang? Gimana kalau kamu kecelakaan, Tante nggak siap kehilangan kamu. Tante nggak mau kamu ninggalin Tante sama seperti—"

"Aku baik-baik aja," ujar Alano langsung mematikan telpon. Untuk saat ini, ia hanya ingin memberi tau Laras kalau dirinya tidak kenapa-napa.

Ponsel Alano kembali berbunyi seperkian detik, tanda kalau ada notif chat yang masuk. Ia lantas membaca pesan singkat yang Laras kirim.

Secercah DarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang