Arbi's Story

135 28 13
                                    

Buna ku memang istri kedua, tapi aku bukan anak haram. Aku lahir di dalam sebuah ikatan pernikahan

~Arbi Andika~

*****

Setelah menghabiskan sekitar dua jam untuk ngobrol seru bersama buna, Arbi mengajakku untuk berkeliling ke lantai dua. Di lantai dua, dia mengajak aku melihat-lihat kamarnya di sini. Kamar Arbi di rumah buna jauh lebih luas daripada yang ada di bawah tanah summer dream. Dinding dan perabotnya juga lebih berwarna dan lebih banyak. Hanya saja, mungkin karena tempat ini nggak ditinggali oleh Arbi jadi nggak ada meja belajar ataupun meja komputer. Dindingnya juga dihiasi poster tentang musik dan basket. Mungkin memang dua hal itu yang paling Arbi sukai.

Arbi mengajakku duduk di sofa yang ada depan ranjang. Aku menurut, duduk bersebelahan dengannya.

"buna mu baik banget" kataku.

"buna orang yang ramah, jauh lebih ramah daripada mama. Tapi tenang aja, walaupun nggak seramah buna tapi mamaku juga baik kok" kata Arbi.

"gimana ceritanya kamu bisa punya dua ibu?" tanyaku.

Arbi menarik nafas panjang, seolah bersiap untuk menceritakan kisah yang sangat berat untuk dia ceritakan.

"dulu, mama sama papa memutuskan menikah setelah tiga tahun berpacaran. Dua tahun setelah pernikahan, putra mereka lahir. Namanya Arbi, kakakku. Lucu kan, dia punya nama yang sama kayak aku" Arbi menatapku sambil terkekeh.

Aku tersenyum membalasnya, sekaligus memberikan sinyal agar Arbi melanjutkan ceritanya.

"kak Arbi lahir bersama dengan kelainan jantung bawaan yang dideritanya sejak dalam kandungan. Mama sama papa berusaha memberikan pengobatan terbaik untuk kak Arbi. Sayangnya, kasus kelainan jantung yang diderita kak Arbi sangat langka. Bayi malang itu hanya mampu bertahan hidup selama empat bulan. Dia meninggal" Arbi menoleh lagi padaku.

Aku menahan nafas sejenak, berusaha untuk terus mendengarkan dengan baik.

"setelah kak Arbi meninggal, mama sama papa mau punya anak lagi. Tapi sayangnya mama didiagnosis menderita kanker rahim dan menjalani operasi pengangkatan rahim beberapa bulan setelah kematian kak Arbi. Praktis, mereka nggak bisa punya anak lagi" lanjut Arbi.

"itu yang membuat papamu menghamili buna?" celetukku.

Arbi terkekeh lagi, terdengar seperti kekehan sedih.
"kamu juga berpikir kalau aku ini anak haram?" tanya nya.

"eh? Nggak, Bi!" sangkalku.

Dasar Felish bodoh!

Aku merutuki diriku sendiri dalam hati, mengumpat karena sembarangan bicara.

"nggak pa-pa, Fel. Wajar kok kalau kamu berpikiran begitu" kata Arbi.

"maaf, Bi" lirihku.

Arbi mengusap rambutku pelan, dia tetap tersenyum.

"mau denger kelanjutannya nggak?" tanya Arbi.

Aku mengangguk. Arbi menarikku dalam rangkulannya, aku menurut bersandar di bahu Arbi.

Garis Lurus (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang