A Cup Coffe

372 43 5
                                        

Apa yang lebih dianggap beruntung selain punya abang yang selalu menjaga dan pengertian sama lo?

~Felisha Albara~

*****

Sejak dulu, aku nggak pernah punya keinginan yang macem-macem, kok. Aku selalu nurut apa kata papa dan mama, juga bang Ainesh.

Aku nggak pernah meminta ini itu, mereka yang inisiatif mencukupi apa yang aku butuhkan dan memberi apa yang nggak aku minta. Singkatnya, mereka menyayangiku.

Karena hidupku yang terlalu menyenangkan, aku sampai lupa berdoa sama Tuhan.
Sekarang, aku merasakan akibatnya. Tuhan marah sama aku, dia menghukum ku dengan cara nya. Membuat aku merasakan kesepian yang menyesakkan hati. Di sekelilingku ramai, tapi aku selalu saja merasa sepi.

Meskipun setiap hari keponakan-keponakan ku asik mengusik ketenanganku, tapi tetap saja hati ini rasanya hampa. Seperti ada potongan yang hilang dalam hatiku, dan aku tau itu apa. Itu adalah, kehidupan dan kebebasan remaja.

Aku belum pernah merasakan gimana rasanya dicintai sama cowok yang bukan keluarga. Aku sering memperhatian bagaimana mama dan papa yang selalu mesra di usia senja, aku pengin kisah cinta kayak mereka, bahagia dan menua bersama. Nggak banyak kan yang aku inginkan? Tapi kenapa Tuhan nggak mau mengabulkan nya?
Kenapa Tuhan malah mengutuk aku jadi gadis introvert?

Jadi introvert itu nggak enak, aku pengin bisa ngobrol dengan banyak orang tanpa merasa cemas berlebihan kayak sekarang. Aku juga pengin bisa punya kepercayaan diri kayak remaja lainnya. Bukan kayak sekarang, saat bersosialisasi aja membuat aku mual dan pusing.

Aku ingat, waktu masih di SD aku sering mengalami vertigo hanya karena datang kesekolah. Aku merengek pada papa untuk home schooling tapi papa menentang keras. Papa bilang, aku harus membiasakan diri bersosialisasi agar tidak tumbuh menjadi psikopat.

Jadi, aku meminta Ziel untuk selalu menjadi tamengku. Puji Tuhan, dia penurut sekali.

"Ngelamun mulu, kenapa sih dek?"

Suara bang Ainesh menyeretku ke alam sadar. Aku yang sedang memutar-mutar spiner di tangan menoleh kearahnya.

"Abang masuk kamar aku tanpa izin, aku bilangin papa nanti!" Ketusku.

"Abang udah panggilin, kok. Adek aja yang nggak denger, ternyata malah asik ngelamun di tempat tidur begini"

"Abang ngapain kesini?" Tanyaku.

"Mampir aja, kangen sama kamu" sahutnya.

Bang Ainesh melangkah mendekati lemari es kecil di samping tempat tidur.

"Kamu punya apa dek di kulkas?" Tanya bang Ainesh sembari membuka pintu lemari es.

"Cuma ada air mineral sama jeruk, belom belanja" sahutku.

"Kenapa belom belanja?" Tanya bang Ainesh setelah mengambil sebuah jeruk dan kembali menghampiriku.

Bang Ainesh duduk di sisi tempat tidur.

"Ziel sibuk, nggak mau nemenin aku belanja. Kalo nyuruh si mbak nanti mama marah, aku kan harus belajar mandiri" ujarku.

"Emangnya kenapa kalo pergi ke mall sendiri?"

Aku mendengus.
"Bisa-bisa aku pingsan di tengah mall"

Terkekeh kecil, bang Ainesh mulai melahap jeruk di tangannya.

"Belajar kali dek, lawan deh ketakutan kamu itu"

"Abang kalo nggak ada yang penting mendingan keluar, deh. Males aku tuh diceramahin" keluhku.

Garis Lurus (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang