Extra Part

359 37 24
                                    

The wedding day

*****

Nih extra part nih. Surprise nih!

Mau minta apa lagi kalian? Hah? Ayo sini ngomong! Mau minta sekuel Fel-Ar? Awas ya kalo nanti dikasih sekuel pada nangis!

*****

Waktu berlalu dengan cepat, persiapan pernikahanku dengan Arbi juga hampir selesai. Hanya tinggal menyelesaikan beberapa detail, menyebar undangan dan memilih perabot rumah tangga untuk rumah baru kami nanti. Kata Arbi, dia sengaja mengajakku memilih semua perabotan agar aku bisa hidup dengan nyaman bersamanya nanti. Lihat deh, calon suamiku itu benar-benar paling pengertian.


“sayang, aku suka sofa minimalis. Pakai ini untuk ruang tamu, ya?” kataku sambil menunjuk satu set contoh sofa minimalis di toko furniture yang kami datangi.


Arbi menggeleng, kemudian menunjuk set sofa yang lain, “bagusan yang itu. Aku suka sofa besar, lebih besar kan lebih baik. Jadi nanti kalau ada banyak tamu atau keluarga besar kita yang datang, sofanya cukup, deh.”


“memangnya tamu bakalan dateng setiap hari? Kan nggak!” protesku, “aku suka yang minimalis, nggak memakan banyak tempat dan mudah dibersihkan.”


“aku bisa bantu kamu bersihin sofa yang besar,” rayu Arbi lagi.


Ku tatap matanya dengan jengkel, “pilih aku atau sofa besar itu? Jangan-jangan cintamu ke aku udah memudar, ya?”


Arbi tersenyum sambil membalas tatapanku dengan lembut, “aku mencintaimu, cintaku ke kamu jauh lebih besar daripada sofa itu. Jadi, ayo beli sofa yang besar itu.”


Ku tarik lagi ucapanku tentang calon suami yang paling pengertian, Arbi benar-benar nggak ada pengertiannya sama sekali!


“aku benci sama kamu!” ketusku sambil meninggalkan Arbi di area sofa.


“aku juga cinta sama kamu, sayang!” balas Arbi sambil terkekeh dan berlari mengejarku.


Perdebatan juga terjadi saat kami memilih meja makan. Aku suka meja berbentuk oval, tapi Arbi yang biasanya super pengertian itu mendadak nggak mau ngalah dan memaksa untuk memilih meja yang bentuknya persegi. Sumpah, aku pengin melemparkan dia ke luar angkasa.


Sofa dan meja makan bukan perdebatan terakhir kami hari ini, kami terus berdebat untuk memilih segala macam benda, bahkan sekedar memilih lampu tidur. Akhirnya kami pulang dengan tangan kosong karena sama sekali nggak bisa sepakat dalam memilih apapun.


“kamu tuh nggak bisa apa mengikuti pilihanku aja? seleraku itu udah pasti bagus, sayang!”


Bukan, yang mengomel begitu bukan aku. Itu Arbi, sepanjang jalan dia ngoceh-ngoceh sambil menyetir, sementara aku cuma duduk tenang di kursi penumpang sambil menatap keluar jendela. Aku kesal banget sama dia, tapi aku terlalu males untuk sekedar mendebatnya. Energiku udah ku habiskan untuk berdebat sama dia di toko furniture tadi.

Garis Lurus (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang