Pilihanku

213 31 33
                                    

Akhirnya, aku punya keberanian untuk memilih

~Felisha Albara~

*****

"Richard, lo ngapain tiba-tiba lari kesini?" tanyaku pada Richard.

Richard menatapku.
"gue. . . Barusan gue nggak sengaja denger Azriel telfonan sama papa lo, katanya lo mau ke New York malam ini. Gue panik. Gue takut banget nggak bisa melihat lo lagi sebelum lo pindah, Fel"

Aku mengerutkan dahi.
"papa gue? New York? Lo ngomong apa, sih?" tanyaku kebingungan.

Aku langsung memeriksa handphone ku di saku seragam, ternyata ada pesan whatsapp masuk dari papa. Pesan itu dikirim setengah jam yang lalu, saat aku masih di dalam aula tadi. Pantas aja aku nggak dengar kalau handphone ku bunyi. Segera kubaca pesan dari papa.

Papa

Fel, hari ini pulang cepet, ya? Kamu harus ikut papa ke rumah lama Ainesh di New York, untuk jemput Irida.

Setelah membacanya, aku memperlihatkan layar handphone ku kepada Richard.

"see? Gue emang mau ke New York, tapi bukan buat pindahan" kataku.

Richard menghela nafas lega, dia langsung menumpukan tangannya ke meja yang paling dekat dengannya, seolah meringankan beban.

"lagian, kalau gue beneran pindah emangnya kenapa? Apa urusannya sama lo? Bukannya kita nggak punya hubungan apapun, ya?" tanyaku.

Richard kembali menegakkan tubuhnya menghadapku, seperti mendadak kaget karena ucapanku.

"gue. . ." Richard menunduk, seperti tak bisa menyelesaikan ucapannya.

"Ri" panggilku.

Cowok yang jadi cinta pertamaku itu kembali menatapku, kali ini matanya terlihat sedikit sedih.

"gue udah tau semuanya, gue bener-bener berterimakasih karena selama ini lo udah menjaga gue diam-diam. Dan sorry banget karena udah berpikir kalau lo jahat" kataku tulus.

"Felish. . ." lirihnya.

"apa?" sahutku.

Dia menelan ludahnya susah payah, sebelum kembali bersuara.
"lo boleh panggil gue brengsek, egois, bajingan, gila atau apapun. Lo berhak marah sama gue karena gue udah bohong dan jahat sama lo. Gue emang bisa bohong sama lo, tapi gue udah nggak sanggup bohong sama diri gue sendiri. Gue cinta sama lo, sejak lama. Gue berharap bisa sama lo lagi. Gue nggak bisa menyembunyikan semuanya lagi, bahkan dari Audrey ataupun diri gue sendiri"

"Ri, kalau lo mau gila ya gila aja sendiri. Nggak perlu menyeret gue kedalam kegilaan lo! Gue nggak mau terus-terusan ada di antara ego dan logika lo. Kalau lo emang nggak bisa menjaga gue dengan terus terang dan bukan sembunyi-sembunyi, dan kalau emang lo nggak bisa tegas soal kita, soal gue dan diri lo sendiri, lebih baik lo pergi deh!" aku mengatakannya dengan tegas.

Richard terlihat terpukul dengan ucapanku, tapi aku terus berusaha untuk nggak peduli.

"Ri, sekali lagi makasih karena lo udah melakukan banyak hal buat gue secara diam-diam. Gue nggak ngerti harus berterimakasih dengan cara apa lagi. Tapi maaf banget, gue nggak bisa sama lo lagi. Gue nggak mau lo capek bolak-balik antara logika dan ego lo. Gue nggak mau lo terus-terusan bolak-balik antara gue dan Audrey lagi. Sebelum lo berpikir untuk membahagiakan gue, mendingan lo pikirin cara membahagiakan diri lo sendiri dulu. Lo pikirin deh gimana cara lo bisa lepas dari jeratan Audrey. Dan satu lagi, gue mau lo tau sesuatu. . ."
Aku menggantung ucapanku, aku menoleh kepada Arbi yang dari tadi cuma diam memperhatikan kami.

Garis Lurus (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang