Mawar Tissue

149 33 44
                                        

Tetap cintai aku, sebanyak aku mencintaimu!

~Arbi~

*****

Di sini lah aku sekarang, di atas motor besar Ziel. Mengendarai motor membelah jalanan di bawah terik matahari sambil membonceng pacarku yang mengaku sebagai manusia perfect. Iya, aku kesal banget sama dia!

Aku enggak ngerti kenapa dia bisa naik sekuter tapi enggak bisa naik motor? Bukannya konsep dan caranya sama aja, ya?

Terus mikirin hal itu kayak gini bikin aku makin jengkel dan pengin banget nabrakin motor Ziel ke pembatas jalan dengan keras, biar Arbi terlempar jauh ke angkasa sekalian.

Aku merasakan sentuhan di pundakku, kayaknya Arbi menepuk-nepuk pundakku untuk memberi isyarat supaya aku dengerin dia ngomong.

"APA?" tanyaku sedikit keras, agar dia bisa mendengar suaraku dari balik helm besar Ziel yang tebalnya enggak kira-kira ini.

Arbi mendekatkan kepalanya ke leherku, "Kamu mau bawa aku ke mana?" tanyanya.

"KE RUMAHKU! KITA TUNGGU ZIEL DI RUMAHKU AJA!" seruku.

"Enggak pa-pa, nih? Kamu mau boncengin aku sampai rumahmu? Rumah kamu 'kan masih jauh, Sayang," katanya.

"EMANGNYA KALAU AKU ENGGAK MAU BONCENGIN KAMU, KAMU BISA BONCENGIN AKU?" tanyaku.

"Enggak sih, tapi kamu kok marah-marah sih sama aku?" rajuknya.

"SIAPA YANG MARAH?" ketusku.

"Itu kamu dari tadi teriak-teriak," katanya.

"BIAR KAMU DENGER!" sahutku.

"Loh, kok sewot?" rajuknya lagi.

Aku menghela napas, menahan jengkel.

"BISA DIEM ENGGAK? AKU LAGI FOKUS NYETIR NIH BIAR PACARKU YANG SUPER PERFECT BISA SELAMAT SAMPAI TUJUAN!" omelku.

Arbi kicep, dia memundurkan kepalanya dariku. Dia juga menarik tangannya dari pinggangku. Aku yakin dia lagi melipat tangannya di depan dada sambil menatapku kesal. Biarin, aku juga kesal kok sama dia!

Setelah memarkirkan motor Ziel di garasi rumahku, aku langsung turun dan masuk ke rumah tanpa membuka helm. Arbi membuka helm kemudian meletakkannya di atas jok motor Ziel. Setelah itu dia mengikutiku masuk rumah lewat pintu yang menghubungkan garasi ke bagian dalam rumah.

Rumahku sepi, kayaknya papa sama mama pergi, aku cuma bisa dengar suara si mbak dari dapur.

Setelah mengajak Arbi menyapa si mbak, aku melanjutkan langkah menuju kamarku. Kubuka pintu kamarku lebar-lebar, mengisyaratkan kalau aku mempersilahkan Arbi masuk. Setelah aku masuk, Arbi mengikutiku dan dengan sopan langsung duduk di kursi meja komputerku. Kututup kembali pintu kamar sebelum melangkah menuju ranjang.

Aku membuka helm Ziel kemudian kulemparkan ke atas ranjang begitu saja. Aku menghampiri meja rias, berdiri di samping Arbi sambil menatap pantulan diriku di cermin. Wah, helm besar Ziel memberi dampak besar juga buat penampilanku. Setelah aku melepaskan helm itu, sekarang rambut pirang pendekku ini jadi mengembang dan acak-acakan karena kulit kepalaku berkeringat.

Garis Lurus (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang