Marry Me, Ziel!

276 43 5
                                        

Sepupu tuh boleh dinikahin nggak, sih?

~Felisha Albara~

******

"Astaga! Fel! Lo kemana aja sih? Dari tadi gue sakau nyari-nyari lo. Gue pikir lo udah mati ditelan alien atau diterkam babi hutan. Gue takut ntar digantung terbalik di pohon nangka sama bokap lo kalau sampai lo ilang"

Nggak perlu kujelaskan siapa yang mengomel seperti itu kan? Tadi dia yang nggak mau mengantar aku ke kantin, sekarang dia yang heboh nyariin aku. Dasar manusia otak separo!

Sabar, Fel. Sabar. Jangan ngomel, jangan ngedumel. Inget, suasana hati lo lagi bahagia banget.

Aku tak menjawab, terus berjalan melewati Ziel yang berdiri di depan kelas.

"Lo darimana, Fel?" Tanya Ziel lagi.

"Kantin" sahutku.

"Loh, kok nggak bilang sih? Kan bisa gue anterin"

"Gue pikir cuma mulut lo doang yang cacat karena hobi maki-maki gue, ternyata otak lo juga cacat, ya?" Kataku jengkel.

"Loh, kok lo malah ngatain gue?" Tanya Ziel dengan tampang tak berdosa.

Aku berbalik menghadap Ziel sembari berkecak pinggang.

"Eh, upil naga! Lo tuh hilang ingatan atau gimana sih? Gue udah minta anter sama lo tadi! Tapi lo nggak peduli dan masih aja asik sama hp!"

Ziel nyengir.
"Sorry, Fel. Gue suka nggak konsen kalau lagi asik stalking instagram nya Irene Redvelvet. Abis, doi cakep banget sih. Emang lo tadi ngajakin gue ya? Kok gue nggak sadar, sih"

"Gue pengen bunuh lo sekarang!" Ketusku.

Ziel nyengir menjijikan.

Aku mendengus jengkel.
"Terus ngapain lo tiba-tiba nyariin gue?"

"Barusan bokap lo telfon gue, katanya nyokap sama bokap lo mau keluar kota, gue disuruh jagain lo di rumah dan di sekolah. kalo sampai lo lecet dikit aja, gue bakalan digantung terbalik di pohon nangka"

"Oke fix, ntar gue bakalan lecetin diri gue sendiri. Tapi sebelum itu gue mau pasang sarang tawon dulu di pohon nangka belakang rumah" kataku sambil berbalik dan melanjutkan langkah menuju kursi ku.

"Woy! Lo nggak bisa sekejam itu sama gue, stoples nastar!"

"Hai, Fel" sapa Sean yang entah bagaimana sudah ada di sampingku.

Aku kembali menghentikan langkah. Menatap Sean dengan tatapan bertanya.

Sean tampak kikuk. Dia menggaruk tengkuknya.
"Sorry, tapi tolong jangan pelototin gue gitu, dong. Serem"

Astaga! Masa aku melotot, sih?

Buru-buru aku mengerjab.
"Sorry" kataku pelan.

Sean mengangguk.

"Jadi kenapa?" Tanyaku.

"Itu" Sean menunjuk leherku.

Refleks aku meraba leher, senyumku tak dapat terbendung saat menyentuh liontin bulan sabit menggantung di leherku.

Aku mengangkat alis, menatap Sean.

"Gue kayak kenal sama liontin itu, lo beli di mana?" Tanya nya.

Aku tau, Sean pasti mau memastikan kalung ini milik Richard atau bukan.

"To the point, deh. Kalung ini emang punya Richard" kataku.

"Oh" kata Sean bingung.

Aku nggak pintar membaca bahasa tubuh, tapi aku yakin sekarang Sean lagi salah tingkah. Apa sikapku terlalu mengintimidasi, ya? Aku jadi merasa bersalah.

Garis Lurus (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang