6. "Kan, aku sudah bilang kalau--"

7K 870 34
                                    

Hai.

Gimana, nih? Survive hari Senin? Gak taulah dosa apa yang hari senin punya. Selalu berat banget rasanya. Padahal sudah gak ada upacara Bendera. Wkwkw.

Oh iya, kalau ... saya publish cerita fantasy supranatural gitu, apa ada yang mau baca? Hehe.

Selamat menikmati :)

*****

"Lo bisa, Zel! Lo kuat!"

Zelina menatap rumah megah dari dalam mobilnya dengan perasaan yang campur aduk. Di tangannya telah ada sebuah amplop putih berisi undangan pernikahan sederhana yang ia cetak dadakan pada selembar kertas HVS khusus untuk momen ini. Undangan pernikahan yang aslinya masih dalam proses desain dan belum naik cetak.

Setelah semalaman puas menangis dan menumpahkan segala beban yang ia tanggung, Zelina rasa, hari ini adalah hari yang tepat untuk mengunjungi pria tua itu. Adi. Papa kandungnya.

Berbekal alamat yang waktu itu dititipkan saat pernikahan Nina dan Ali, Zelina keras kepala tidak ingin ditemani siapa-siapa. Biarlah ia sendiri menghadapi masa lalunya yang kelam. Zelina harus menjadi wanita pemberani dan kuat. Ia harus belajar menerimanya.

Jujur, Zelina takut.

Ia takut jika Nina dan Ali menemaninya sekarang, ia hanya akan berpura-pura memaafkan Adi supaya kedua orang tuanya tidak kecewa. Rasanya, ia tidak siap sama sekali. Tetapi, ucapan Ali malam tadi bergema dalam pikirannya.

Jangan membawa luka masa lalu ke dalam pernikahanmu, Nak. Kebencian bukanlah sesuatu yang baik untuk memulai sebuah lembaran baru bersama pendamping hidupmu.

Ia mau melakukan ini demi pernikahannya dengan Damian. Zelina tidak mau terus dibayangi oleh trauma masa lalu, membuatnya meragukan pria yang sudah jelas mencintainya. Mungkin Ali dan Nina benar, Zelina harus mencoba belajar memaafkan.

Hal itu bisa menjadi langkah awal bagi Zelina untuk sembuh dari traumanya.

Zelina melakukannya demi Damian.

Pria itu pantas untuk bahagia.

Dan Zelina akan pastikan bahwa ia mampu membahagiakan pria itu lahir batin tanpa keraguan atau rasa trauma menyelubungi pernikahan mereka nanti.

Dengan menarik nafas dalam, wanita itu pun keluar dari mobil dan berjalan tanpa keraguan ke arah pos satpam yang tepat berada di samping gerbang megah rumah tersebut. Jelas sekali, Adi menjadi kaya raya setelah meninggalkan Zelina dan Nina.

"Permisi, mbak. Maaf, mau bertemu siapa, ya?" Satpam yang sepertinya berada di usia empat puluh tahunan itu bertanya dengan sopan.

"Bapak Adi Halim Effendi ada, Pak?"

"Mbak ada janji bertemu dengan Pak Adi? Beliau sedang sibuk belakangan ini."

"Tidak ada."

"Aduh, mbak. Maaf, kalau tidak ada janji, tidak bisa bertemu."

Zelina meringis dalam hati. Sepenting itukah Adi sekarang? Dengan masih mempertahankan ekspresi tenangnya, ia pun berucap, "Pak, bisa tolong saya? Ini hal yang sangat penting. Tolong hubungi Bapak Adi dan bilang kalau Zelina ingin berbicara. Jika dia tidak bisa menyempatkan waktu bertemu saya, tidak apa-apa. Saya akan pergi."

Satpam itu memandangi Zelina dengan penuh pertimbangan. Ia sungguh-sungguh dalam melakukan pekerjaannya untuk melindungi kenyamanan penghuni rumah. Ketika melihat bagaimana eratnya Zelina memegang amplop yang ia bawa, sedikit banyak, satpam itu menyadari betapa pentingnya hal ini.

"Baiklah. Saya coba hubungi tuan rumah dulu." ujarnya. Perangai Zelina yang tenang dan pasrah membuatnya yakin kalau wanita ini pantas mendapat bantuan karena tidak akan membuat onar.

Zelian 2: Apa yang Kurang?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang