33. "Masa saya ditampar?"

5.5K 686 42
                                    

Mau spoiler gak? Wkwkw. Saya 5 - 6 chapters di depan kalian. And lemme tell you something.

Zel ngamuk. (tapi, gak sengamuk pas gebukin Rafa dulu, sih)

Sama siapa? Alasannya? Baca aja nanti 😌

Dah. Cukup 😂

Selamat menikmati :)

*****

Ada hal aneh saat Zelina membuka matanya di pagi buta. Lengan suaminya dengan erat mendekapnya dari belakang. Rasa hangat menyeruak di dalam dirinya ketika merasakan betapa intimnya posisi mereka sekarang. Hanya saja, kaki yang bertaut itu membuat Zelina meringis pelan.

Ah, sialan!

Ia hampir lupa bahwa kakinya melepuh. Kaki Damian menekan luka Zelina tanpa sadar, menciptakan rasa sakit yang dikirim saraf ke otak. Wanita itu pun menggigit bibir bawahnya. Pelan-pelan, ia mencoba menyingkirkan kaki suaminya agar menjauh sedikit.

"Dam, bangun. Subuhan dulu." Diusapnya lengan Damian yang melingkar erat di atas perutnya. "Dami, bangun," ujarnya lagi.

Sayangnya, hal itu tidak mendapat respon apa-apa. Dengan susah payah, Zelina pun membalikkan badannya agar menghadap suaminya yang terlihat sangat tampan dan polos saat tidur. Bulu matanya yang sedikit lebih tebal dan lentik terkadang membuat Zelina iri. Miliknya juga lentik, hanya saja lebih tipis. Mengapa lelaki harus diciptakan dengan sesuatu yang ingin dimiliki perempuan? Tidak adil.

"Sayang." Zelina mengelus rahang Damian dengan lembut. "Ayo, bangun. Subuhan dulu." Sebuah tepukan gemas mendarat di pipi suaminya, membuat si empunya sedikit mengerjap kaget, lantas membuka matanya secara perlahan.

"Masa saya ditampar?" gerutu pemilik iris mata terang itu. Matanya masih setengah tertutup, membuat Zelina merasa gemas.

"Cuma ditepuk pelan. Kamu dramatis, ih. Ini aku usap lagi pipinya."

Hal itu membuat Damian tersenyum kecil dan menutup matanya lagi. Rasanya sangat nyaman ketika Zelina menyentuh wajahnya. Namun, hal itu tidak berlangsung lama. Wanita itu malah mencubit pipinya sedikit keras. "Ih! Kamu bangun! Udah jam 5, Dami!"

"Aduh! Iya, saya bangun!" Damian meringis. Iris mata terang itu akhirnya terbuka dengan sempurna. Bibirnya mengerucut ketika ia menatap istrinya dengan malas. "Lain kali, kalau mau bangunkan suami, tinggal cium saja." Ia menasihati.

Zelina pun berdecak, "Kamu kalau dicium, nanti malah keterusan. Bukannya ibadah."

Hal itu membuat Damian menyeringai kecil. "Ya, tidak apa-apa. Bagus kalau begitu."

"Heh! Dosa tau nunda-nunda ibadah."

"Tapi, suami-istri bermesraan itu ibadah juga. Dapat pahala banyak sekali."

"Iya, tapi gak gitu konsepnya. Aduh!" Zelina menepuk jidatnya gemas. "Ayo, buruan subuhan sana! Udah jam 5 lebih."

"Ibadah sama-sama?"

"Eh...." Zelina mengusap tengkuknya pelan dan nyengir. Ia belum bisa ibadah bersama. Damian tidak boleh tahu kalau kakinya melepuh. "Kamu duluan. Aku mau cek kucing dulu," kilahnya.

"Nah, kan." Damian menjawil hidung istrinya gemas. Dengan jahil, ia pun berkata, "Zel, ada wanita bijak yang pernah bilang pada saya bahwa menunda ibadah itu dosa."

Pipi Zelina merona malu. Ia yang berkata seperti itu tadi. Ah, sialan!

"Jadi, karena saya tidak mau istri saya berdosa...," Damian bangkit dari kasur, lalu meraup Zelina ke dalam pangkuannya, "kita ibada bersama saja, ya, Sayang. Tidak ada yang menunda. Tidak ada yang berdosa. Happy ending."

Zelian 2: Apa yang Kurang?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang